Bisnis.com, JAKARTA - Usulan Bank Indonesia (BI) terkait skema pembiayaan untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dinilai masih terlalu konservatif.
Sebelumnya, dijabarkan di hadapan Komisi XI DPR RI bahwa dalam rangka PEN pemerintah dapat melakukan penempatan dana untuk dukungan likuiditas kepada perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit atau memberikan tambahan kredit.
Dalam skema yang dirancang dan diusulkan oleh BI, disebutkan bahwa sebagian besar kebutuhan dana likuiditas untuk PEN dapat dipenuhi lewat repo SBN perbankan kepada BI.
SBN yang diterbitkan pemerintah dan dibeli BI untuk ditempatkan pada bank untuk pendanaan dalam restrukturisasi kredit bila SBN yang dimiliki bank sudah tidak mencukupi untuk direpo ke BI.
Pengamat ekonomi Perbanas Institute Piter Abdullah mengatakan penjualan SBN secara repo oleh BI sangat bergantung pada kondisi bank masing-masing.
Restrukturisasi kredit tentunya akan mengurangi tekanan likuiditas yang saat ini banyak terjadi pada dunia usaha. Dengan restrukturisasi kredit maka kredit dunia usaha ke bank bisa terjaga lancar.
Baca Juga
Namun, restrukturisasi kredit ini juga memiliki potensi untuk menekan likuiditas bank dan opsi repo SBN untuk membantu likuiditas bank ini tidak bisa dilakukan oleh semua bank.
"Umumnya hanya bank-bank besar yang memiliki SBN, sementara bank BUKU I, II, dan sebagian BUKU III tidak memiliki SBN," kata Piter.
Oleh karena itu, untuk bank kecil ini diperlukan skema lain. Perlu ada terobosan baru seperti dengan membiarkan BI untuk membeli obligasi yang diterbitkan oleh bank atau seperti The Fed yang langsung membeli obligasi korporasi.
Seharusnya, pandemi bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperluas peranan otoritas moneter dengan merevisi UU BI agar tidak berkutat pada stabilisasi nilai tukar dan inflasi.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menerangkan bahwa program restrukturisasi kredit UMKM dengan penundaan angsuran 6 bulan membutuhkan likuiditas sekitar Rp140 triliun hingga Rp160 triliun bila seluruh kredit UMKM direstrukturisasi. Untuk korporasi, diperlukan sekitar Rp400 triliun hingga Rp425 triliun bila seluruh kredit direstrukturisasi.
Lebih lanjut, perbankan sendiri memiliki SBN yang bisa di-repo ke BI sebesar kurang lebih Rp750 triliun. Bila 52 persen hingga 56 persen SBN ini di-repokan ke BI, maka kebutuhan pemerintah untuk menerbitkan SBN untuk Program PEN berkisar Rp140 triliun hingga Rp170 trilun.
"Ini kami usulkan di-repo ke BI untuk menambah likuiditas, jangka waktu dan jumlahnya monggo diatur. Kami buka lelang sesuai kebutuhan bank," kata Perry, Rabu (6/5/2020).
Apabila SBN perbankan yang di-repo ke BI tak mencukupi, barulah pemerintah masuk dengan penempatan dana PEN kepada bank peserta dan BI akan menjadi pembeli dari SBN tersebut.
Perry juga menekankan bahwa SBN khusus ini harus bersifat tradeable dengan yield yang tidak lebih rendah dari biaya operasi moneter agar BI dapat melakukan kontraksi operasi moneter ke depan untuk menghindari kenaikan inflasi karena belimpahnya likuiditas ke depan.