Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan penyebab rasio klaim asuransi kredit meningkat menjadi 90,3% dalam kuartal I/2025.
Kondisi tersebut terjadi setelah OJK menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 20 Tahun 2023 tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah dan Produk Suretyship atau Suretyship Syariah yang berlaku efektif sejak Desember 2024.
Regulasi itu salah satunya mengatur ekuitas minimum dan rasio likuiditas yang harus dipenuhi perusahaan asuransi agar dapat memasarkan produk asuransi kredit masing-asing sebesar Rp250 miliar dan 150%.
Hanya saja, ketentuan-ketentuan baru dalam POJK 20/2023 masih dicerna oleh pelaku industri untuk beradaptasi. Dalam tiga bulan pertama tahun ini pertumbuhan premi asuransi kredit hanya 0,3% year on year (YoY) dibanding klaimnya yang tumbuh 8,3% YoY. Hasilnya, rasio klaim asuransi kredit terhadap premi tembus 90,3% dari posisinya per akhir 2024 yang mencapai 85,3%.
Iwan Pasila, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, mengatakan bahwa penetapan minimum ekuitas dan likuiditas tersebut dimaksudkan agar perusahaan asuransi menerapkan pengelolaan risiko yang memadai dan memiliki kemampuan untuk membayar klaim yang timbul.
"Pengelolaan rasio klaim tidak boleh dilakukan dengan hanya membandingkan klaim terhadap premi berdasarkan tahun kalender karena klaim yang terjadi pada periode ini bisa berasal dari pertanggungan di tahun-tahun sebelumnya, di mana preminya sudah tidak tercatat di tahun ini, dan premi tahun ini harus dikelola dengan baik dengan mempersiapkan kewajiban yang memadai untuk potensi klaim-klaim di tahun yang akan datang," kata Iwan kepada Bisnis, Rabu (2/7/2025).
Baca Juga
Melalui regulasi itu, Iwan mengatakan OJK juga mendorong perusahaan asuransi untuk mengelola risiko berdasarkan tahun underwriting, sehingga ada kesesuaian antara premi yang diterima dengan jangka waktu pertanggungan yang mungkin berbeda.
"Kami juga mengatur komisi dan biaya akuisisi yang dibatasi maksimal 10%, sehingga beban kepada nasabah pemegang polis tidak berlebihan. Selain itu, kami juga mensyaratkan bank untuk menanggung 25% risiko ntuk asuransi kredit agar seleksi risiko dimulai dari bank sebagai pemberi klaim. Hal ini diharapkan agar risiko dapat dikelola dengan lebih baik," ujarnya.
Tidak hanya itu, Iwan mengatakan OJK juga memberikan akses Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) kepada perusahaan asuransi agar mendorong upaya seleksi risiko lebih awal.
"Ini untuk memastikan bahwa yang masuk dalam portofolio adalah nasabah dengan risiko yang memadai, dan agar perusahaan asuransi dapat membentuk kewajiban yang memadai sesuai dengan tingkat risiko berjalan," pungkasnya.