Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja mengatakan kondisi krisis ekonomi ibarat mengalami sakit akut seperti sakit jantung dan stroke.
Jahja termasuk tokoh bankir senior yang sudah melewati sejumlah kondisi krisis seperti tahun 1998, 2008. Dia membagikan ceritanya dalam acara Live Webinar Perbankan bersama LPS dan BCA yang digelar Bisnis, Rabu (10/6/2020).
“Mudahnya saya bandingkan orang yang kena penyakit. Krisis 1998 itu orang kena serangan jantung ada dorongan dan bisa normal. Kemudian krisis 2008 ibarat lagi migran sedikit-sedikit. (kondisi) sekarang stroke. Stroke itu recovery lebih lama dari pada saakit jantung, tapi ini stroke tidak mematikan secara langsung, tapi akan lebih lama menurut saya,” kata Jahja.
Dia mengatakan krisis ekonomi pada 1998 memberikan pelajaran penting bagi perbankan dan pelaku usaha. Jahja sempat mengingatkan kembali soal kerusuhan dan kepanikan pada 1998.
Dia menceritakan kepanikan itu sudah dimulai sejak November 1997, saat ada saran dari lembaga IMF untuk menutup 16 bank. Masa itu, program penjaminan belum ada. Penutupan bank ini membuat masyarakat panic dan mereka bergeser pada bank-bank pemerintah dan swasta relatif besar yang mereka anggap lebih aman.
“Kemudian saat awal 1998 ada gejolak politik, ternyata bank swasta terutama BCA kena rumor politik dan orang yang tadinya pindahkan dana ke bank besar juga langsung panik. Kita alami rush luar biasa, lebih dari 35% DPK kita dikuras,” paparnya.
Namun, sedikit berbeda dengan kondisi tahun 1998, menurut Jahja krisis yang terjadi pada tahun ini yang dipicu oleh pandemi Covid-19 sudah relatif tidak terlalu “mematikan”. Apalagi program penjaminan LPS yang sudah mulai diperkenalkan setelah krisis 1998 seharusnya membuat dana nasabah lebih terjamin sehingga tidak perlu terjadi rush.
“Saat itu baru mulai dikenalkan program penjaminan, itu membuat salah satu bagian LPS sekarang dan masyarakat yang dananya Rp2 miliar ke bawah harusnya lebih tenang dan tidak panik.”