Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia atau AAJI menilai perusahaan asuransi harus selalu melakukan investasi saham dengan analisis matang.
Kerugian jangka pendek dinilai AAJI tidak menjadi masalah besar jika investasi berorientasi jangka panjang.
Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu menilai investasi asuransi di pasar modal tidak lepas dari berbagai risiko yang membayangi.
Pengelolaan dana milik nasabah melalui investasi harus mengutamakan kehati-hatian dengan tetap berorientasi profit jangka panjang.
"Potret investasi tidak bisa dilihat dalam jangka pendek, harus dilihat dalam potret jangka panjang, bagaimana dia harus di atas inflasi, di atas pertumbuhan ekonomi, di atas bunga deposito. Dalam jangka panjang saham akan naik? Iya, asalkan emitennya bagus," ujar Togar kepada Bisnis, Kamis (28/1/2021).
Dia menjabarkan salah satu upaya mitigasi risiko investasi dilakukan dengan analisa fundamental yang kuat.
Baca Juga
Meskipun terdapat kemungkinan penurunan nilai, selama saham yang dibeli sudah dipastikan aman dan berpotensi tumbuh, risikonya pun relatif terkendali.
Selain itu, perusahaan asuransi perlu melakukan diversifikasi portofolio dengan tetap memperhatikan kualitas instrumen investasinya.
Togar menyebutkan bahwa barang-barang yang dibeli tetaplah harus bagus meskipun jumlahnya banyak.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa industri asuransi jiwa melalukan diversifikasi investasi ke sejumlah instrumen.
Namun, penempatan investasi di pasar modal tetap mendominasi dari waktu ke waktu.
Pada November 2020, penempatan investasi reksadana tercatat sebesar Rp158 triliun atau 33,82 persen dari total investasi industri senilai Rp468,8 triliun.
Adapun, investasi di saham tercatat senilai Rp130,5 triliun atau 27,8 persen dari total investasi, sehingga investasi di pasar modal mencakup sekitar 61,6 persen dari total investasi industri.
Pada 2016, investasi saham tercatat mendominasi portofolio dengan komposisi 32,5 persen dari total investasi. Namun, porsinya turun dalam lima tahun terakhir sehingga reksadana menjadi portofolio yang dominan.
Togar menilai penempatan saham di kelompok LQ45 memang memiliki risiko lebih rendah. Meskipun begitu, perusahaan asuransi tetap harus melakukan analisa mendalam terkait keputusan investasinya karena status LQ45 itu pun tetap menyimpan risiko.
"Seperti dalam kasus Jiwasraya, kan ada emiten yang sempat masuk ke LQ45, lalu saham-saham yang dipegang Jiwasraya pun ada yang sudah pada naik [harganya]. Jadi enggak bisa dijadikan patokan, tetap harus ada analisa," ujar Togar.
Meskipun begitu, Togar menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan asuransi yang memiliki likuiditas baik harus mempertimbangkan penambahan saham di portofolio investasinya.
Selain dapat memberikan imbal hasil lebih, saat ini banyak saham dengan harga 'miring'.
"Tetap, nature asuransi jiwa begitu [menambah portofolio saham]. Justru aneh kalau perusahaan asuransi jiwa enggak begitu, karena ada janji kepada pemegang polis untuk membayar sekian di jangka panjang, selama memang emiten yang dipilihnya tidak masalah," ujarnya.
Togar pun menegaskan agar berbagai kasus investasi yang terjadi tidak menjadi trauma tersendiri bagi perusahaan asuransi dalam menempatkan investasi di saham.