Bisnis.com, JAKARTA — Praktik pemberi kerja yang menekan atau memaksa pekerjanya untuk mengundurkan diri, alih-alih melalui pemutusan hubungan kerja atau PHK, dinilai dapat membuat pekerja tidak bisa memperoleh manfaat jaminan kehilangan pekerjaan atau JKP. Hal tersebut menyalahi prinsip jaminan sosial.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai bahwa sudah menjadi rahasia umum banyak praktik pemberi kerja menekan pekerjanya untuk mengundurkan diri. Penekanan biasa dilandasi persaingan antarpekerja, adanya masalah yang tidak terselesaikan, atau bahkan faktor ekonomi.
Menurut Timboel, tindakan itu kerap bertujuan agar pemberi kerja terhindar dari berbagai kewajiban. Langkah menekan pekerja untuk mengundurkan diri dinilai relatif mudah, murah, dan prosesnya cepat, dibandingkan dengan PHK yang dalam beberapa kasus harus sampai ke pengadilan hubungan industrial.
Kondisi yang banyak terjadi itu menurutnya berbahaya, salah satunya karena pekerja tidak bisa memperoleh manfaat JKP dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Hal tersebut terjadi karena salah satu syarat klaim manfaat JKP adalah PHK, bukan pengunduran diri.
"Enggak akan berlaku karena pekerjanya mengundurkan diri, bukan PHK. Selama ini, orang kalau mau di-PHK pasti dikondisikan mengundurkan diri, padahal pekerja kan dia peserta yang membayar iuran, tapi pas di-PHK tidak bisa mendapat manfaat [JKP]," ujar Timboel kepada Bisnis, Senin (21/6/2021).
Menurutnya, praktik itu melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yakni peserta adalah orang yang mendaftar dan membayar iuran, sehingga berhak mendapatkan manfaat dan informasi atas program yang diikutinya.
Baca Juga
Para pekerja memenuhi kewajibannya dalam membayar iuran jaminan sosial selama masa kerja. Dalam aspek kepesertaan, pekerja itu sudah memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program JKP.
Meskipun begitu, jika pada akhir masa kerja terjadi pengunduran diri, maka pekerja itu tidak dapat memperoleh manfaat JKP. Menurut Timboel hal tersebut perlu dicermati dengan serius oleh pemerintah, Kementerian Ketenagakerjaan, dan BPJS Ketenagakerjaan.
"Harus dihindari agar tidak terjadi kerugian ganda bagi pekerja, dia kehilangan pekerjaan dan tidak dapat JKP, padahal JKP esensinya untuk membantu pekerja yang kehilangan pekerjaan, apalagi di masa sekarang ini," ujarnya.
BPJS Watch menilai bahwa pengunduran diri pekerja biasanya didasari dua hal, yakni pindah tempat kerja atau berhenti bekerja untuk keperluan tertentu, seperti mengurus keluarga. Kedua alasan itu layak untuk menjadikan pekerja tidak memperoleh manfaat JKP.
Dalam kasus pekerja yang dipaksa mengundurkan diri, pekerja itu belum tentu sudah mendapatkan pekerjaan pengganti. Maka, menurut Timboel, JKP harus ada dalam kondisi sulit bagi peserta itu, terlebih jika dia sudah memenuhi semua kewajibannya.
Kondisi serupa pun berlaku bagi pekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja konstruksi, dan pekerja migran Indonesia (PMI). Mereka aktif sebagai peserta, membayar iuran, tapi tidak dapat memperoleh manfaat JKP.
"Orang diposisikan disuruh membayar iuran tapi ketika jatuh waktunya, tidak mendapatkan manfaat. Ini persoalan ada inkonsistensi UU SJSN, UU Cipta Kerja, dengan PP 37," ujar Timboel.