Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Menurut data Global Muslim Population, pada tahun 2025 jumlah penduduk Muslim di Indonesia diperkirakan mencapai 244,7 juta jiwa, atau sekitar 85% dari total populasi. Jumlah ini menempatkan Indonesia di atas Pakistan dan India.
Dari sudut pandang lain, riset Pew Research Center pada 2021 yang melibatkan 38.426 responden di 34 negara menunjukkan bahwa 98% responden asal Indonesia menganggap agama memiliki peran sangat penting dalam kehidupan mereka. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara paling religius di dunia, melampaui negara-negara di kawasan Timur Tengah.
Dua temuan tersebut memberikan landasan kuat bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi syariah. Namun, hingga kini Indonesia masih menempati posisi ketiga dalam Global Islamic Economic Indicator 2023, di bawah Malaysia dan Arab Saudi. Ini menunjukkan bahwa masih terdapat ruang signifikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia, khususnya dengan mempertimbangkan besarnya jumlah populasi Muslim dan karakter masyarakat yang sangat religius.
Sebagai wujud komitmen terhadap pengembangan ekonomi syariah, pemerintah telah menetapkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) sebagai panduan strategis nasional.
Dalam dokumen ini, asuransi syariah ditempatkan sebagai salah satu pilar utama yang berperan penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi syariah, baik melalui mekanisme asuransi sosial maupun asuransi komersial. Penegasan posisi strategis asuransi syariah dalam MEKSI seharusnya menjadi titik tolak bagi industri untuk terus bertumbuh dan mengambil peran yang lebih signifikan dalam mendukung ekosistem ekonomi syariah di Indonesia, dan secara umum ekonomi Indonesia.
Kendati demikian, peran asuransi syariah dalam industri perasuransian nasional masih relatif terbatas. Berdasarkan SNLIK OJK tahun 2025, tingkat literasi asuransi syariah hanya mencapai 11,7% (asuransi konvensional 45,3%).
Baca Juga
Sementara itu, tingkat inklusi asuransi syariah hanya sebesar 1,5%, (asuransi konvensional 28,4%). Dari sisi finansial, kontribusi premi asuransi syariah terhadap total premi industri juga masih rendah, yaitu 9,3% pada tahun 2024.
Sebagai bagian dari dual financial system di Indonesia, pertumbuhan asuransi syariah perlu dipercepat agar dapat menjangkau masyarakat lebih luas. Tidak cukup hanya menjadi alternatif, asuransi syariah perlu tampil sebagai pilihan yang setara. Upaya untuk mendorong hal ini dapat dilakukan melalui beberapa strategi.
Pertama, asuransi syariah perlu keluar dari persaingan langsung dengan asuransi konvensional dan mulai menerapkan pendekatan blue ocean strategy. Saat ini banyak produk asuransi syariah yang mereplikasi fitur produk konvensional, yang membuatnya terjebak di medan persaingan yang sama. Untuk menarik perhatian pasar, perlu dilakukan eksplorasi pada segmen-segmen yang belum tergarap optimal, seperti asuransi pertanian, asuransi hijau, dan produk asuransi mikro.
Kedua, pendekatan komunikasi perlu lebih menekankan aspek universalitas dari asuransi syariah. Pengalaman Malaysia menunjukkan keberhasilan mereka dalam menjadikan asuransi syariah sebagai solusi yang inklusif dan mudah dipahami semua kalangan. Salah satunya yaitu penggunaan bahasa yang sederhana dalam menjelaskan terminologi syariah terbukti mampu memperluas jangkauan pasar dan mengurangi hambatan pemahaman.
Ketiga, Indonesia memiliki keunggulan berupa jejaring komunitas Muslim yang luas dan aktif, mulai dari Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), hingga universitas dan organisasi keagamaan. Mengintegrasikan edukasi asuransi syariah dalam kegiatan dakwah, khutbah, serta forum pengajian dapat menjadi langkah strategis untuk meningkatkan literasi. Ekosistem halal yang terus berkembang juga harus diarahkan agar menjadikan asuransi syariah sebagai bagian integral dari sistem perlindungan dalam aktivitas ekonomi umat.
Keempat, distribusi asuransi syariah perlu diperluas di luar kanal-kanal berbasis syariah. Meskipun sinergi dengan lembaga keuangan syariah tetap penting, menjalin kerja sama dengan bank konvensional yang memiliki jaringan distribusi lebih luas dapat menjadi peluang besar, selama prinsip-prinsip syariah tetap dijaga dalam prosesnya tetap tunduk kepada peraturan. Eksplorasi potensi pada kanal-kanal yang emerging misalnya kantor pos, branchless banking, e-commerce, dan mitra retail perlu digali.
Kelima, tantangan pricing juga harus diatasi. Masih terdapat anggapan bahwa produk syariah cenderung lebih mahal dibanding produk konvensional. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh skala pasar yang lebih kecil, sehingga struktur biaya menjadi kurang efisien. Diperlukan inovasi dalam perhitungan aktuaria agar premi asuransi syariah menjadi lebih kompetitif tanpa mengorbankan profitabilitas.
Industri asuransi syariah harus mampu memanfaatkan momentum pertumbuhan asuransi nasional didukung oleh kewajiban spin-off serta penyesuaian modal yang akan memperkuat posisi industri asuransi syariah.
Dengan pendekatan yang tepat dan strategi yang terukur, asuransi syariah dapat berperan lebih signifikan dalam mendukung perekonomian yang inklusif, resilien, dan berkelanjutan.