Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan sinyal bakal segera menerbitkan ketentuan baru buat industri teknologi finansial pendanaan bersama alias peer-to-peer (P2P) lending.
Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Riswinandi Idris menjelaskan bahwa aturan baru ini diharapkan memperkuat industri dari sisi kelembagaan, layanan terhadap konsumen, serta kontribusinya bagi perekonomian.
Perumusan aturan ini sudah melibatkan pelaku industri dan para pemangku kepentingan, termasuk para akademisi, dengan harapan poin-poin ketentuan bisa segera diimplementasikan setelah resmi diundangkan.
Dalam keterangan resminya, Riswinandi menekankan bahwa beberapa perubahan aturan main baru, antara lain terdapat dalam hal kepemilikan platform, bentuk badan hukum, modal pendirian, nilai ekuitas, batas maksimum pendanaan, pemegang saham pengendali, dan sejumlah larangan untuk perlindungan konsumen seperti tata cara penagihan.
Berikut rangkuman beberapa poin-poin perbedaan aturan lama dari POJK 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dengan aturan baru dari Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) dan keterangan OJK.
Batasan Pemberian Pinjaman
OJK masih mempertahankan adanya batasan buat institusi terafiliasi platform P2P lending dan institusi nonlembaga keuangan maksimal hanya bisa mengambil porsi 25 persen dari total outstanding tahunan sebuah platform.
Baca Juga
Hal ini bertujuan meminimalisasi fenomena suatu platform P2P lending hanya menjadi penyalur likuiditas eksklusif bagi sebuah institusi tertentu yang menjadi pemberi pinjaman (lender), terutama apabila institusi tersebut merupakan induk usaha platform.
Namun, OJK memberikan keringanan buat lender yang merupakan lembaga jasa keuangan (LJK) konvensional, dapat melakukan pendanaan sampai dengan 75 persen dari total penyaluran pendanaan tahunan pada tahun berjalan suatu platform.
Modal dan Rasio Ekuitas
Apabila dalam POJK 77/2016 syarat mengambil izin fintech P2P lending hanya dengan modal disetor Rp1 miliar, kini OJK menaikkannya menjadi Rp10 miliar.
Selain itu, OJK bakal mewajibkan setiap platform memiliki ekuitas minimal sebesar 0,5 persen dari outstanding berjalan, atau minimum Rp7,5 miliar sampai Rp10 miliar. Besaran masih belum pasti, menyesuaikan keputusan terbaru hasil diskusi OJK dengan para stakeholder.
Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan sempat mengungkap bahwa syarat berkaitan permodalan ini menjadi yang paling signifikan karena berkaitan erat dengan kesungguhan para pemain dan manajemen.
Pasalnya, OJK masih menemui beberapa platform yang masih membangun infrastruktur digitalnya dari utang. Oleh sebab itu, OJK tidak akan memberikan izin bagi platform yang belum bisa mencapai stabilitas keuangan internal.
"Beberapa platform ini kalau tidak ada komitmen dari permodalan, tentu akan berat menjalankan operasional dengan baik. Kami tidak mau ke depan ada platform yang setelah mendapat izin, baru satu-dua tahun sudah tidak kuat, kemudian mundur dan mengembalikan izin," ungkap Bambang.
Pengalaman Pengelola & Kualitas SDM
Dalam aturan lama, platform wajib memiliki paling sedikit 1 orang anggota direksi dan 1 orang anggota komisaris yang berpengalaman paling sedikit 1 tahun di industri jasa keuangan.
Dalam RPOJK terbaru, OJK mewajibkan suatu platform memiliki paling sedikit 3 anggota direksi, dengan separuh dari jumlah anggota direksi wajib memiliki pengalaman paling sedikit 2 tahun pada tingkat manajerial di industri jasa keuangan.
Syarat buat komisaris pun diperketat, di mana platform wajib memiliki paling sedikit 3 anggota dewan Komisaris, dengan separuh di antaranya memiliki pengalaman paling sedikit 2 tahun pada tingkat manajerial.
Anggota dewan komisaris dapat merangkap jabatan pada paling banyak 1 perusahaan lainnya. Terakhir, dalam hal terdapat kepemilikan platform oleh badan hukum asing paling sedikit 25 persen, komisaris dari warga negara asing diperbolehkan paling banyak separuh dari jumlah dewan komisaris platform terkait.
OJK juga akan memperketat kualitas sumber daya manusia (SDM) lewat fit and proper test buat manajemen, dan kewajiban sertifikasi buat para karyawan. Selain itu, soal kualitas pendanaan juga akan diatur lebih ketat lewat penilaian kemampuan credit scoring, artificial intelligence, dan big data dari setiap platform.
Merger & Akuisisi
OJK melengkapi regulasi dengan tata cara penggabungan dan peleburan, termasuk soal penjualan saham oleh pemilik.
Pertama, OJK mewajibkan pemegang saham tidak dapat menjual kepemilikan saham platform dalam kurun waktu paling sedikit 3 tahun sejak tanggal diterbitkannya surat tanda berizin atau surat persetujuan perubahan kepemilikan oleh OJK.
Sementara itu, untuk mekanisme penggabungan dan peleburan, yaitu mendapat izin OJK dan hanya dapat dilakukan oleh penyelenggara yang memiliki prinsip pendanaan sejenis.
Syaratnya, penggabungan atau peleburan tersebut tidak mengurangi hak pengguna platform, telah masuk dalam rencana bisnis, dan kondisi keuangan platform hasil peleburan atau penggabungan harus memenuhi ketentuan ekuitas minimum.
Nilai Tambah Buat Industri Keuangan
OJK berharap perubahan regulasi turut membangun industri P2P membangun nilai tambah bagi ekosistem jasa keuangan sebagai garda depan inklusi keuangan.
Oleh sebab itu, mencuat adanya rencana kewajiban penyaluran pada sektor produktif, semula dipatok minimum sebesar 40 persen dari total oustanding tahunan platform, kini menjadi minimum 25 persen dari total penyaluran pendanaan tahunan pada tahun berjalan platform.
Ada pula kewajiban penyaluran di luar Jawa buat tiap platform P2P. Semula dipatok minimum sebesar 25 persen dari total oustanding tahunan, namun direncanakan berubah menjadi minimum 20 persen dari total penyaluran pendanaan tahunan pada tahun berjalan.
Larangan Buat Platform
Apabila dalam POJK 77/2016 hanya ada 8 poin larangan, OJK menambahkan menjadi 15 poin larangan dalam aturan terbaru.
Beberapa larangan exsisting, antara lain dilarang melakukan kegiatan usaha selain kegiatan usaha yang diatur; memberikan rekomendasi kepada pengguna; bertindak sebagai pemberi dana atau penerima dana dan memberikan akses ke direksi, dewan komisaris, atau pengawas syariah serta afiliasinya terkait hal ini; serta melakukan penawaran layanan kepada pengguna atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan.
Adapun, beberapa poin larangan baru, antara lain menerbitkan surat utang; menerima kuasa untuk melakukan pendanaan dari Pemberi Dana atau menyediakan pendanaan secara otomatis; dan memiliki utang, kecuali utang subordinatif yang berasal dari pemegang saham yang akan dikonversi menjadi saham.