Sementara itu, Presiden Direktur PT Asuransi Bintang Tbk. (ASBI) Hastanto Sri Margi Widodo mengamini bahwa risiko inflasi akan berpengaruh terhadap klaim asuransi kendaraan.
"Berpengaruh karena pemenuhan klaim kan terhadap biaya perbaikan yang besarannya tergantung harga onderdil yang tentunya naik karena inflasi," tuturnya.
Namun demikian, dia menyebut pihaknya tidak terlalu khawatir terhadap potensi kenaikan klaim asuransi kendaraan. Hal ini karena mayoritas perlindungan asuransi kendaraan bermotor yang diberikan oleh Asuransi Bintang merupakan perlindungan total loss only (TLO). Jaminan TLO ini memberikan perlindungan atas kerusakan mobil yang besarannya minimal 75 persen dari nilai mobil atau kehilangan mobil akibat pencurian.
"Kenaikan klaim kendaraan kami tidak terlalu khawatir karena mostly TLO covers jadi tidak terpengaruh," ujar Widodo kepada Bisnis.
Lembaga think tank industri jasa keuangan, IFG Progress, menilai kenaikan inflasi berpotensi berdampak negatif pada kinerja sektor asuransi, baik dari kinerja underwriting, maupun dari kinerja investasinya.
Laju inflasi tahunan di Indonesia mencapai 4,94 persen pada di Juli 2022, lebih tinggi dari bulan sebelumnya, yakni 4,35 persen dan merupakan inflasi tertinggi sejak Oktober 2015.
IFG Progress menyebutkan kenaikan inflasi, terutama pada bahan pangan, energi dan transportasi, berdampak langsung terhadap daya beli dan permintaan dari konsumen, yang tentunya berdampak pada penjualan dan keuntungan sektor industri. Kenaikan inflasi yang persisten juga berdampak pada sentimen konsumen dan produsen, yang dapat berdampak pada konsumsi dan produktivitas atau investasi yang berkelanjutan. Pada akhirnya, pertumbuhan PDB domestik suatu negara biasanya akan lebih lemah dari ekspektasi semula.
"Dalam kondisi di atas di mana terjadi kenaikan berbagai risiko ekonomi, studi IFG Progress menemukan klaim yang harus dibayarkan sektor asuransi biasanya mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada waktu bersamaan, di saat pelemahan dari aktivitas ekonomi terjadi, premi yang diterima sektor asuransi juga mengalami penurunan. Alhasil, kinerja underwriting memburuk, dan bisa berpotensi terjadi kerugian dari aktivitas underwriting," tulis Head of IFG Progress Reza Yamora Siregar dalam analisanya belum lama ini.
Menurut Reza, kerugian atau pelemahan dari kinerja underwriting dan investasi pada akhirnya akan berdampak terhadap turunnya total aset nominal dan ekuitas bersih perusahaan asuransi. Seiring dengan jatuhnya ekuitas bersih, tingkat solvabilitas dari perusahaan asuransi tersebut akan turun dan pada akhirnya akan menurunkan posisi RBC (risk based capital). OJK mewajibkan perusahaan asuransi untuk menjaga RBC tidak kurang dari level 120 persen.
"Sebagai kesimpulan, kenaikan laju inflasi yang terjadi, baik di pasar global maupun domestik, harus disikapi secara hati-hati oleh perusahaan asuransi domestik. Kenaikan inflasi berdampak terhadap kenaikan berbagai faktor risiko ekonomi yang berpotensi naiknya beban underwriting, terlihat pada klaim yang naik, dan tekanan terhadap kinerja investasi," kata Reza.
Oleh karena itu, menurut lembaga think tank tersebut, penilaian harga premi yang berdasarkan perhitungan risiko yang akurat menjadi penting. Pemilihan lini industri bisnis sangat menentukan keberhasilan underwriting dan investasi.