Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Alasan Pinjaman Konsumtif P2P Lending Masih Tinggi Dibandingkan Produktif

Salah satu faktor lebih tingginya penyaluran p2p lending ke sektor konsumtif adalah risiko pendanaan badan usaha lebih tinggi dibandingkan ke perorangan.
Ilustrasi P2P Lending. /Freepik.com
Ilustrasi P2P Lending. /Freepik.com

Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat mengungkap bahwa tingginya pinjaman konsumtif masih tinggi dibandingkan sektor produktif di sektor fintech peer to peer (P2P) lending bukan tanpa alasan. Pinjaman sektor konsumtif fintech P2P lending pada Februari— Mei 2024 mencapai lebih dari 50%. 

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan salah satu faktornya adalah risiko peminjaman dana ke badan usaha lebih tinggi dibandingkan pinjaman ke perorangan. Adapun catatan OJK, tingkat gagal bayar badan usaha menyentuh angka 8%, sedangkan perorangan hanya 2%. 

“Artinya risiko peminjaman di badan usaha lebih tinggi,” kata Huda kepada Bisnis pada Senin (22/7/2024). 

Kedua, Huda mengatakan saat ini manfaat imbal balik di sektor konsumtif juga lebih besar dibandingkan sektor produktif. Adapun bunga harian sektor produktif mencapai 0,1 persen per hari, sedangkan sektor konsumtif 0,3%. 

“Bagi lender ya mending investasikan ke sektor konsumtif dibandingkan produktif. Sebagai lender, maka ketika ada pilihan dengan risiko dengan bunga manfaat lebih tinggi, ya tentu pilih menyalurkan ke sektor konsumsi,” tutur Huda. 

Ketiga, Huda menyebut sektor konsumtif ini memang pangsa pasarnya lebih besar. Sementara, sektor produktif terbatas untuk mikro dan ultra mikro. Namun demikian, Huda menyambut positif rencana OJK untuk menaikan batas atas pendanaan fintech P2P lending yang saat ini hanya mencapai Rp2 miliar. Huda melihat strategi tersebut mampu mendongkrak penyaluran ke sektor produktif karena cakupan pengusaha akan menjadi lebih luas. 

Namun memang harus jadi catatan bahwa  tidak semua platform P2P lending dapat menyalurkan pinjaman di atas Rp2 miliar. Huda mengatakan ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi yakni tingkat wanprestasi selama 90 hari (TWP90) tidak boleh lebih dari 5%. 

Kemudian sudah memberikan dana ke sektor produktif lebih dari 50%, dan minimal modal tertentu yang harus dipenuhi. Syarat tersebut  memberikan kepercayaan kepada lender untuk memberikan uangnya kepada borrower dengan jumlah yang besar. 

“Wacana kenaikan pagu pendanaan dari Rp2 miliar ke Rp10 miliar harus dipertimbangkan untuk diterapkan karena manfaatnya ada,” ungkapnya. 

Di sisi lain, Pengamat Ekonomi Digital Heru Sutadi memandang bahwa kenaikan batas pendanaan tersebut dikhawatirkan justru meningkatkan gagal bayar. Pasalnya dengan pendanaan Rp2 miliar saja, isu gagal bayar fintech lending masih ada. 

“Baiknya benahi dulu problem yang ada sekarang dan gagal bayar terselesaikan. Platform diedukasi tidak sembarangan kasih pinjaman, masyarakat sebagai konsumen juga dicerdaskan agar memanfaatkan pinjol untuk hal positif dan produktif,” katanya. 

Bahkan, lanjut Heru, dia menyarankan layanan fintech P2P lending dimoratorium lebih dulu dan benahi semua aturan dan model pembiayaan. Menurutnya untuk meminjam ke fintech P2P lending harus ada  penyaringan yang ketat termasuk pemanfaatannya seperti apa. 

“Seperti di bank kan ada asesmen sebelum mendapat pinjaman, misal untuk pembiayaan proyek, proyeknya, di mana, pembayaran seperti apa dan sebagainya,” tandasnya. 

Sementara, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Yasmine Meylia Sembiring kepada mengungkap bahwa pendanaan konsumtif khususnya multiguna diminati lantaran karakteristiknya yakni proses penyaluran yang cenderung lebih cepat dan mudah dibandingkan lembaga keuangan konvensional. 

“Di mana hal ini menarik bagi individu yang membutuhkan dana cepat untuk kebutuhan mendesak, dan membuat permintaan untuk pinjaman multiguna relatif tinggi, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah,” ungkapnya. 

Di sisi lain, OJK mengungkap bahwa kenaikan batas atas pinjaman fintech lending baru merupakan rencana peraturan OJK. Regulator masih menyempurnakan rancangan aturan tersebut  dan mempertimbangkan pandangan dan masukan dari berbagai pihak. Penyempurnaan aturan ini juga sebagai salah satu tindak lanjut OJK atas amanah Undang-undang tentang Pengembangan Penguatan Sektor dan Keuangan (UU P2SK). 

Kenaikan batas atas tersebut ada syaratnya yakni hanya untuk pendanaan produktif bukan konsumtif. Kedua penyelenggara harus memenuhi kriteria tertentu yakni TWP90 maksimum sebanyak 5%. 

Pendanaan produktif yakni pembiayaan untuk usaha yang menghasilkan barang atau jasa termasuk usaha yang memberikan nilai tambah. Contohnya pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM( yang membutuhkan pinjaman modal usaha atau membantu cash flow perusahaan. Pada akhirnya, rencana ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan UMKM di Indonesia. 

OJK mencatat penyaluran pembiayaan ke sektor produktif semakin menurun porsinya. Berdasarkan data statistik OJK pada Februari—Mei 2024, porsi pembiayaan ke sektor produktif semakin kecil yakni 45,52%, 33,61%, 31,86%, menjadi hanya 31,52%. 

Merosotnya pembiayaan ke sektor produktif tersebut dijawab dengan penyiapan Peraturan OJK (POJK) mengenai batas maksimal penyaluran ke sektor produktif. Nantinya penyelenggara fintech peer to peer (P2P) lending bisa memberikan pinjaman lebih dari Rp2 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper