Bisnis.com, JAKARTA — Insiden kecelakaan banyak terjadi belakangan, salah satunya di Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang) pada 11 November 2024. Dengan banyaknya kecelakaan, seberapa urgen asuransi wajib tanggung gugat pihak ketiga atau third party liability (TPL)?
Sebagai informasi, angka kecelakaan masih tinggi di Indonesia. Menurut data dari Integrated Road Safety Manajemen System (IRSMS) Korlantas Polri, terdapat kasus kecelakaan sebanyak 79.220 hingga 5 Agustus 2024. Di mana kecelakaan tertinggi mencapai 11.924 kejadian pada April 2024.
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Heru Budi Herawan mengatakan hal tersebut menunjukkan pentingnya regulasi asuransi wajib kendaraan khususnya TPL.
“Ini juga pelajaran, khususnya untuk masyarakat perlunya sesegera mungkin [asuransi wajib TPL] karena sesuai yang diamanatkan UU P2SK [Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan], yaitu undang-undang untuk asuransi tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga atau TPL, khususnya untuk material damage,” kata Budi saat dihubungi Bisnis, Kamis (14/11/2024).
Budi menyatakan bahwa kerugian terhadap kendaraan akibat kecelakaan di tol Cipularang cukup besar, mencapai miliaran rupiah. Sementara itu, untuk korban manusia sudah dijamin oleh asuransi sosial dari Jasa Raharja. Dia juga mengapresiasi langkah cepat tanggap Jasa Raharja dalam proses pembayaran klaim pada kejadian tersebut.
Budi turut menyinggung bahwa sebelumnya sudah banyak terjadi kecelakaan serupa, meskipun skalanya tidak sebesar ini. Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan penerapan asuransi wajib TPL. “Paling tidak pada kuartal pertama atau kedua tahun 2025,” ujarnya.
Baca Juga
Budi mengatakan pihaknya tentunya menunggu Keputusan Presiden (Keppres), peraturan pelaksanaannya, peraturan menteri (permen). Nantinya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dan pembina perusahaan asuransi tentunya akan melakukan verifikasi asuransi yang akan disertakan dalam penutupan asuransi TPL.
Lebih lanjut, Budi mengatakan diskresi terkait dengan asuransi wajib kendaraan masih dibahas di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI. Dia menyebutkan bahwa tampaknya BKF sudah pada tahap final dengan pemerintahan yang baru.
“Tentunya nanti mengusulkan ke Presiden karena Kemenkeu kan sekarang langsung di bawah Presiden, tidak melalui Menko. Jadi, mungkin lagi nunggu momentumnya kapan yang baik untuk mereka bisa sampaikan ke presiden,” katanya.
Budi juga mengingatkan bahwa terkait dengan implementasi asuransi wajib tetap harus dikonsultasikan kepada Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sesuai dengan bunyi di UU P2SK.
“Jadi, tidak serta-merta apa yang sudah jadi kepres nantinya peraturan pelaksananya, nantinya, peraturan pelaksananya atau permennya atau OJK, tidak serta-merta bisa melaksanakan tanpa harus dikonsultasikan di DPR dulu,” ungkapnya.