Bisnis.com, JAKARTA – Capaian cuan hingga kuartal III/2024 yang kurang optimal mendorong sejumlah bank pembangunan daerah (BPD) memutar otak, menyiapkan strategi untuk mendongkrak kinerja pada sisa tahun ini.
Adapun, jika melihat kondisi industri, secara umum bank telah mengantongi laba bersih sebesar Rp171,03 triliun atau tumbuh 6,42% yoy dari periode yang sama tahun lalu Rp160,7 triliun per Agustus 2024. Namun, tren ini tidak berlaku bagi kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Mengacu pada data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) OJK, BPD membukukan laba Rp8,95 triliun hingga bulan ke delapan tahun ini. Meski mencatat kenaikan Rp1 triliun secara bulanan, capaian ini justru turun 5,39% YoY dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp9,46 triliun pada Agustus 2023.
Dengan demikian, secara perolehan laba bersih, BPD masih berada di posisi buncit karena laba yang lebih rendah dari kelompok bank lainnya.
Tercatat, pada periode yang sama, laba bank Persero naik 4,52% YoY menjadi Rp85,79 triliun. Kemudian, bank swasta yang tumbuh 8,18% YoY menjadi Rp66,48 triliun pada Agustus 2024 dari tahun lalu yang hanya Rp61,45, hingga kantor cabang bank luar negeri (KCLBN) alias bank asing yang labanya naik dobel digit dan tembus 27,17% YoY menjadi Rp9,81 triliun dari sebelumnya Rp7,71 triliun.
Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (Bank BJB) Yuddy Renaldi pun tak menampik fakta bahwa tekanan biaya dana masih terasa pada sisa akhir tahun ini.
“Apalagi menjelang akhir tahun perbankan biasanya berebut likuiditas untuk menjaga posisi kebutuhan likuiditas sampai dengan akhir tahun,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (21/11/2024).
Dengan begitu, kata Yuddy, untuk menjaga profitabilitas, maka perseroan berstrategi dengan mengoptimalkan sumber-sumber dana murah yang ada hingga akhir tahun ini, menggenjot sumber-sumber fee based income serta menjaga kualitas kredit agar tidak ada kejutan-kejutan pada akhir tahun yang berdampak terhadap bottom line perseroan.
Di sisi lain, sikap optimistis pun datang dari PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk. alias Bank Jatim (BJTM) yang menyatakan di sisa bulan tahun 2024 ini masih mampu mencapai target yang ditetapkan.
Tercatat, Bank Jatim mencatatkan laba Rp930,06 miliar hingga kuartal III/2024, turun 15,04% YoY dari tahun sebelumnya yakni Rp1,09 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan, sebenarnya pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) perseroan naik 10,47% YoY menjadi Rp3,95 triliun.
Sayangnya, bank juga mencatatkan kerugian penurunan nilai aset keuangan atau impairment yang membengkak 59,82% YoY menjadi Rp689,73 miliar per September 2024 dari sebelumya Rp431,57 miliar pada September 2023.
Sejumlah pos beban pun turut mengalami kenaikan. Alhasil, beban operasional lainnya meningkat 23,34% YoY menjadi Rp2,65 triliun dari sebelumnya Rp2,15 triliun.
Direktur Utama Bank Jatim Busrul Iman mengatakan beberapa faktor yang mempengaruhi laba Bank Jatim, yang pertama adalah kenaikan beban operasional pada biaya tenaga kerja, baik dari tenaga pemasaran dan pengelola kredit.
“Kenaikan biaya tenaga kerja ini adalah salah satu strategi bisnis perseroan jangka panjang, di mana merupakan salah satu investasi di penguatan SDM, ini bisa meningkatkan beban jangka pendek meski bermanfaat dalam jangka panjang,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (21/11/2024).
Busrul Iman, Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk. (BJTM) atau Bank Jatim, saat memberikan penjelasan dalam konferensi pers, Selasa (25/7/2023).
Faktor kedua adalah peningkatan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN), di mana seiring dengan pertumbuhan kredit, bank perlu meningkatkan alokasi CKPN untuk menjaga tingkat kesehatan aset.
Menurutnya, jika ada peningkatan rasio NPL (non-performing loan) atau proyeksi risiko kredit meningkat, CKPN yang lebih besar dapat memengaruhi laba.
Selanjutnya, penyebab susutnya laba adalah biaya pengelolaan dana. Sebagaimana diketahui meski suku bunga acuan sudah diturunkan, tetapi implementasi di market domestik dan internasional masih mengalami tantangan. Fenomena tight liquidity relatif masih terjadi.
“Hal ini juga berdampak pada performa kinerja keuangan kami. Dari beberapa hal tersebut, perseroan akan tetap berusaha maksimal dalam mencapai profitabilitas hingga akhir tahun,” ujarnya.