Bisnis.com, JAKARTA — Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% tahun depan dikhawatirkan akan semakin menekan daya beli masyarakat, termasuk kemampuan membeli asuransi jiwa.
Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon mengatakan kenaikan tarif PPN dapat menjadi tantangan besar bagi industri yang selama ini masih dianggap kebutuhan tersier oleh masyarakat Indonesia.
"Dengan kondisi perekonomian nasional yang belum benar-benar membaik, daya beli masyarakat masih mengalami tekanan, terlebih wacana kenaikan pajak pertambahan nilai [PPN 12%] secara tidak langsung nantinya berpotensi untuk menekan daya beli masyarakat, khususnya untuk produk asuransi jiwa yang masih tergolong kebutuhan tersier," kata Budi dalam konferensi pers kinerja industri asuransi jiwa Januari—September 2024 pada Jumat (29/11/2024).
Meskipun jumlah tertanggung asuransi jiwa mencapai 134,38 juta orang per September 2024, naik 44,3% dibandingkan 93,10 juta orang pada periode yang sama tahun lalu, angka ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan populasi Indonesia yang lebih dari 270 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa penetrasi asuransi di Indonesia masih sangat kecil.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat densitas dan penetrasi asuransi masih terus naik sampai ke level Rp2.080.020 dan 2,80% pada September 2024. Dalam peta jalan pengembangan dan penguatan perasuransian 2023—2027, OJK menargetkan penetrasi asuransi dalam negeri mencapai 3,2% pada 2027.
Di sisi lain, industri asuransi jiwa padahal telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Hingga September 2024, industri ini mencatatkan kontribusi sebesar Rp205,66 triliun untuk pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dan membayarkan klaim sebesar Rp119,97 triliun.
Baca Juga
Selain itu, klaim kesehatan terus mendominasi akibat tingginya inflasi biaya medis yang menjadi salah satu tantangan utama industri. Laporan AAJI pada periode Januari hingga September 2024, menunjukan klaim kesehatan mencapai sebanyak Rp20,91 triliun, yang mana naik 37,2% secara tahunan (year on year/YoY) dibandingkan Rp15,24 triliun.
"Hal ini tentunya masih disebabkan oleh tingginya inflasi biaya medis yang diprediksi masih akan berlanjut di beberapa waktu ke depan. Namun, kami terus berupaya untuk berdiskusi dengan berbagai pihak untuk tetap menjaga industri ini stabil dan masyarakat nantinya diharapkan tetap bisa mendapatkan pelayanan dan proteksi kesehatan yang sesuai," kata Budi.
Selain dampak kenaikan PPN, industri asuransi juga dihadapkan pada penerapan standar akuntansi baru, PSAK 117 atau IFRS 17, yang akan mulai berlaku penuh pada awal 2025. Budi memastikan sebagian besar perusahaan asuransi jiwa telah melakukan persiapan dan adaptasi untuk mematuhi aturan tersebut.
"Peluang dan tantangan lain ke depan, di awal tahun depan PSAK 117 atau IFRS 17 akan secara penuh mulai diadopsi. Segala jenis persiapan dan adaptasi telah dilakukan oleh sebagian besar perusahaan untuk bisa secara penuh comply atas aturan PSAK yang sudah mulai berlaku ini," ungkapnya.
Namun demikian, tren penurunan suku bunga memberikan secercah peluang bagi industri asuransi jiwa. Menurut Budi, penurunan suku bunga dapat membantu menarik lebih banyak masyarakat untuk mempercayakan pengelolaan keuangannya ke produk-produk asuransi jiwa.
"Terakhir, tantangannya adalah yang sekaligus bisa menjadi peluang yaitu tren penurunan suhu bunga yang bisa memberikan dampak positif untuk menarik lebih banyak masyarakat untuk mempercayakan pengelolaan keuangannya ke produk-produk asuransi jiwa," katanya.
Sampai dengan September 2024, AAJI mencatat industri asuransi jiwa memperoleh total pendapatan sebanyak Rp166,27 triliun, naik 2,1% (YoY) dari Rp162,87 triliun. Hal tersebut didorong oleh peningkatan hasil investasi yang mencapai Rp26,95 triliun, yang naik 15,1% dari sebelumnya Rp23,42 triliun.
Total pendapatan premi juga mengalami kenaikan 0,2% (YoY) menjadi Rp132,27 triliun. Total aset industri asuransi jiwa mencapai sebanyak Rp630,12 triliun, naik 3,2% (YoY) dari Rp610,79 triliun.