“Norma Pasal 251 KUHD merupakan produk hukum pemerintah kolonial Belanda yang telah tertinggal sehingga tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum saat ini. Dengan demikian, menurut Mahkamah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap norma Pasal 251 KUHD harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan,” lanjut Ridwan membacakan pertimbangan hukum.
Pasal 251 KUHD sendiri berbunyi, “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal”.
Disebutkan Mahkamah tidak menghendaki pihak penanggung alias perusahaan asuransi dalam suatu perjanjian asuransi menjadikan norma Pasal 251 KUHD sebagai instrumen untuk berlindung dari kewajiban tertanggung. Terlebih, perjanjian asuransi memiliki sifat khusus karena masih didasarkan keadaan/peristiwa yang belum pasti terjadi.
“Perjanjian asuransi yang memiliki sifat khusus karena masih didasarkan keadaan/peristiwa yang belum pasti terjadi, seharusnya pihak penanggung dapat mempertimbangkan untuk meyakini kesepakatan yang akan diambil dalam menindaklanjuti perjanjian yang akan dibuat bersama dengan pihak tertanggung, bukan menjadikan norma Pasal 251 KUHD sebagai instrumen untuk berlindung dari kewajiban tertanggung,” tandas Ridwan