Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) saat ini sedang mengidentifikasi bagaimana industri modal ventura dapat berpartisipasi dalam pembiayaan sektor hilirisasi. Seperti diketahui, pemerintah saat ini tengah mendorong lembaga keuangan non bank turut berpartisipasi dalam pembiaayaan di ekosistem hilirisasi.
Ketua Umum Amvesindo Eddi Danusaputro menjelaskan bahwa investasi modal ventura di Indonesia saat ini berfokus pada tahap early stage dan growth stage sehingga industri ini fokus pada pendanaan perusahaan rintisan atau startup. Selain itu, ada perusahaan modal ventura di Indonesia yang juga fokus pada Usaha Kecil Menengah (UKM) tradisional.
"Untuk itu, industri modal ventura dapat mendukung hilirisasi dengan mendanai teknologi pendukung hilirisasi, yaitu startup yang mengembangkan teknologi pengolahan dan manufaktur bahan mentah. Contoh teknologi pengolahan nikel menjadi baterai EV atau solusi teknologi untuk efisiensi energi dalam proses hilirisasi," kata Eddi kepada Bisnis, Senin (13/1/2025).
Contoh lainnya, Eddi menjelaskan industri modal ventura juga dapat mendanai startup edutech yang berfokus pada peningkatan keterampilan atau upskilling tenaga kerja dalam industri hilirisasi.
"Selain itu, industri modal ventura juga dapat mendukung hilirisasi dengan mendanai startup atau UKM logistik yang mampu mengoptimalkan pengangkutan bahan baku dan produk hilirisasi," jelasnya.
Eddi melanjutkan, saat ini Amvesindo juga mulai mengidentifikasi kendala partisipasi modal ventura di sektor hilirisasi. Pertama adalah kebuthan modal yang sangat besar.
Baca Juga
Eddi mengatakan proyek hilirisasi berskala besar seperti smelter atau pabrik pengolahan membutuhkan investasi miliaran dolar, sedangkan modal ventura biasanya berfokus pada pendanaan tahap awal dengan jumlah lebih kecil, sehingga lebih memilih segmen-segmen pendukung hilirisasi, bukan pada proyek utama.
Kendala kedua adalah risiko investasi yang tinggi. Eddi menilai proyek hilirisasi memiliki siklus pengembalian investasi yang panjang, alias long-term return on investment (ROI). Menurutnya hal ini tidak selalu cocok dengan model bisnis modal ventura yang biasanya mengincar exit dalam waktu 5—10 tahun.
Kendala ketiga, adalah kurangnya ekosistem startup dan UKM terkait. Eddi melihat saat ini masih sedikit jumlah startup lokal yang berfokus pada teknologi pendukung hilirisasi.
"Banyak startup lebih tertarik pada sektor yang sedang berkembang cepat, seperti fintech, healthtech, edutech dibandingkan sektor energi atau manufaktur," kata Eddi.
Kendala keempat menurutnya adalah kurangnya kolaborasi antara modal ventura dengan pemerintah. Eddi menilai saat ini belum terbangun sinergi antara modal ventura dan pemerintah untuk menciptakan program atau insentif khusus yang mendorong investasi di sektor pendukung hilirisasi.
"Kendala kelima adalah soal regulasi dan kebijakan. Belum ada regulasi yang secara spesifik mengarahkan modal ventura untuk masuk ke sektor pendukung hilirisasi. Ini membuat industri ventura lebih tertarik pada sektor yang lebih familiar, seperti startup digital," tegas Eddi.
Dengan kendala-kendala tersebut, Amvesindo memiliki beberapa solusi. Eddi menjelaskan solusi pertama yang bisa menjadi opsi adalah skema co-investment, di mana pemerintah dapat membentuk dana khusus bersama modal ventura untuk mendukung startup di sektor pendukung hilirisasi seperti teknologi green energy alias energi hijau.
"Contoh global, di Amerika Serikat modal ventura banyak berinvestasi dalam startup teknologi clean energy yang mendukung program pemerintah seperti Green New Deal. Di Tiongkok, pemerintah memfasilitasi sinergi antara modal ventura dan startup teknologi dalam industri manufaktur baterai EV," jelasnya.
Solusi terakhir, Amvesindo melihat keterlibatan modal ventura dalam pendanaan hilirisasi dapat dilakukan dengan peningkatan ekosistem startup dan UKM lokal. Menurutnya pemerintah dan industri modal ventura dapat bekerja sama untuk menciptakan inkubator atau akselerator yang secara khusus mendukung inovasi di sektor hilirisasi.