Bisnis.com, JAKARTA— Platform fintech peer to peer (P2P) lending PT Sahabat Mikro Fintek (Samir) mengungkap perusahaan fokus terhadap edukasi lender terkait produk pendanaan yang mereka pilih di tengah maraknya kasus gugatan lender.
Direktur Operasional Samir, Pramana Putra Rumapea, mengatakan sebagai penyelenggara pinjaman daring (pindar) yang berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pihaknya selalu berkomitmen untuk menjalankan operasional sesuai dengan regulasi yang berlaku, termasuk dalam hal transparansi dan mitigasi risiko bagi para pemberi dana (lender).
“Kami memahami bahwa dalam industri ini, keseimbangan antara peluang dan risiko adalah aspek yang sangat penting,” kata Pramana kepada Bisnis, pada Minggu (2/2/2025).
Oleh karena itu, lanjut Pramana strategi yang pihaknya terapkan mencakup edukasi berkelanjutan kepada lender. Hal tersebut supaya lender lebih memahami karakteristik serta potensi risiko dari produk pendanaan yang mereka pilih.
Selain itu, lanjut Pramana, pihaknya juga menerapkan prinsip responsible lending dengan melakukan penilaian kelayakan kredit yang ketat terhadap borrower serta diversifikasi portofolio agar risiko dapat dikelola dengan lebih baik.
Ke depan, Pramana mengatakan pihaknya akan terus berkoordinasi dengan regulator dan asosiasi untuk memastikan bahwa ekosistem pindar dapat berkembang secara sehat dan berkelanjutan.
Baca Juga
“Tentunya dengan tetap mengutamakan perlindungan bagi semua pemangku kepentingan,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda turut mengomentari maraknya kasus gugatan lender di industri fintech P2P lending. Dia menilai bahwa risiko dalam pendanaan P2P lending harus dilihat sebagai bagian dari investasi.
Oleh karena itu, lender juga harus memahami bahwa ada risiko yang melekat dalam aktivitas ini.
“Salah satu paradigma yang harus ditanamkan adalah pendanaan di pinjaman daring adalah investasi yang mana pasti ada risikonya. Manfaat investasi juga pasti lebih besar dibandingkan dengan instrumen investasi lainnya. Maka dari itu, harus ada pembagian risiko bagi lender juga karena memang sifatnya yang investasi,” kata Huda.
Dia menekankan bahwa tugas platform adalah menganalisis kemampuan bayar borrower secara cermat agar tingkat gagal bayar bisa ditekan. Namun, Huda juga menyoroti pentingnya perlindungan bagi lender dalam regulasi yang dibuat oleh OJK. Menurutnya, selama ini perhatian lebih banyak diberikan kepada borrower, sementara lender masih memiliki perlindungan yang relatif rendah.
“Bagi OJK, sudah selayaknya membuat aturan main yang adil bagi semua pihak, mulai dari borrower, lender, hingga platform. Selama ini saya masih melihat borrower yang menjadi fokus dari OJK. Perlindungan bagi lender masih cukup rendah. Maka dari itu, OJK bisa membuat aturan main yang seimbang bagi semua pihak yang terlibat,” tuturnya.
Beberapa kasus yang mencuat, seperti gugatan Josua Decardo Siregar terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan nomor perkara 18/G/2025/PTUN.JKT, serta gugatan lender Modal Rakyat, Haryani, yang menuntut ganti rugi Rp300 juta, menunjukkan meningkatnya kekhawatiran lender terhadap perlindungan dana mereka.