Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dinilai punya posisi strategis dalam mendukung kinerja ekspor Indonesia melalui pembiayaan yang disalurkan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan dukungan tersebut akan sangat dibutuhkan khususnya oleh eksportir kelas UMKM sehingga bisa meningkatkan kontribusinya pada nilai ekspor secara nasional.
"Kalau tidak salah sekarang baru 14%. Jadi memang perlu didorong dan itu harusnya menjadi indikator acuan utama. Karena sekarang ini era perang dagang maka posisi LPEI semakin urgent sekarang," kata Bhima kepada Bisnis, Kamis (27/2/2025).
Tidak hanya pembiayaan, menurut Bhima LPEI juga perlu memberikan pendampingan UMKM. Hal itu bisa dilakukan melalui program LPEI yang sudah ada, yaitu program desa devisa.
Dalam posisinya yang strategis tersebut Bhima juga menyoroti kemandirian sumber pendanaan LPEI. Tahun lalu, lembaga keuangan khusus di bawah Kementerian Keuangan ini mendapatkan Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp5 triliun.
Bhima berharap PMN tersebut dapat digunakan sepenuhnya untuk melakukan ekspansi pembiayaan ekspor, bukan sebagai bantalan LPEI memperbaiki kredit macetnya. Seperti diketahui, LPEI saat ini tengah berususan dengan hukum atas dugaan korupsi penyaluran kredit yang membuat non performing loan (NPF) gross berada di level 43,5% pada 2023 lalu.
Baca Juga
Menurut Bhima, LPEI punya peluang besar menjadi perusahaan pembiayaan yang mandiri dengan sumber pendanaannya.
"Jadi seharusnya ini kan ekspor sangat menguntungkan, baik ekspor dari produk berbasis komoditas atau hilirisasi. Sebenarnya prospeknya besar sekali. Jadi seharusnya LPEI bisa menghidupi diri sendiri, yaitu dari laba hasil pembiayaan sehingga tidak bergantung PMN lagi. Tapi ini mungkin situasinya sedang dalam kondisi fraud jadi butuh bantuan permodalan," ujarnya.
Berdasarkan laporan keuangan LPEI per Desember 2024, total pendapatan bunga dan usaha syariah neto secara individu sebesar Rp726,04 miliar dan secara konsolidasian sebesar Rp727,16 miliar. Masing-masing kontraksi 21,2% year on year (yoy) dari posisi sebelumnya per akhir 2023 sebesar Rp921,86 miliar dan Rp923,20 miliar. Sementara itu, total pendapatan operasional lainnya neto secara individual dan konsolidasian tercatat sebesar Rp253 miliar, yang juga kontraksi 2,3% yoy.
Sementara itu, Etikah Karyani, Peneliti FEB UNS & Center Of Reform On Economics (Core) Indonesia mengatakan kredit macet tinggi dapat membebani peran strategis LPEI dalam memberikan pembiayaan ekspor.
Adapun dalam rencana perusahaan, LPEI menargetkan penurunan NPL gross menjadi 1,3% pada 2029 nanti. Sejalan dengan hal itu, porsi kredit macet dalam portofolio pembiayaan LPEI juga ditargetkan semakin mengecil, yakni pada 2029 nanti berada di angka Rp3,3 triliun dari total pembiayaan yang ditargetkan sebesar Rp52,3 triliun. Konsekuensinya, total pembiayaan ekspor LPEI dalam lima tahun ke depan akan tertahan di kisaran Rp50-an triliun demi menjaga kualitas penyalurannya.
Dengan kondisi tersebut, Etikah menilai stimulus PMN Rp5 triliun dari pemerintah semestinya bisa mendorong kinerja pembiayaan ekspor LPEI meskipun dihadapkan tantangan penyelesaian masalah kredit macet tinggi.
"Semestinya ekspansi pembiayaan seharusnya diarahkan untuk yang produktif. Bukan untuk menutup masalah kredit macet. Idealnya PMN juga harus transparan dan prinsip pengelolaan keuangan negara yang baik," ujar Etikah.