Bisnis.com, JAKARTA — Industri asuransi jiwa diproyeksikan masih menghadapi tekanan berat pada 2025. Setelah membukukan penurunan hasil investasi yang signifikan sepanjang tahun lalu, kini sektor ini kembali dibayangi oleh gejolak pasar yang dipicu sentimen global, termasuk kenaikan tarif impor oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat, hasil investasi industri asuransi jiwa pada 2024 hanya mencapai Rp23,91 triliun, turun 24,8% dibandingkan 2023 yang sebesar Rp31,80 triliun. Penurunan ini menjadi kontras dengan capaian tahun sebelumnya yang tumbuh 45,1%. Ketua Dewan Pengurus AAJI, Budi Tampubolon, menyatakan penurunan tersebut erat kaitannya dengan pelemahan pasar modal akibat tekanan ekonomi global.
Tekanan terhadap pasar saham Indonesia juga kembali mencuat menjelang pembukaan bursa pada Selasa (8/4/2025). Berdasarkan data Google pada Senin (7/4/2025), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat turun tajam hingga 11,46% ke level 5.730,34. Saham-saham unggulan seperti BBCA, BBRI, BMRI, BBNI, hingga TLKM tercatat anjlok 19–25%. Meski demikian, Bursa Efek Indonesia (BEI) menegaskan bahwa belum ada kegiatan perdagangan karena masih dalam masa libur bursa.
Pengamat asuransi dari Komunitas Penulis Asuransi (Kupasi) Irvan Rahardjo menilai tekanan terhadap pasar modal berpotensi memperpanjang tekanan pada portofolio investasi asuransi jiwa.
“Investasi asuransi jiwa seperti sudah diketahui mengalami tekanan pada hasil investasi yang menyusut tajam dengan jebloknya IHSG dalam beberapa waktu ini,” kata Irvan kepada Bisnis pada Senin (7/4/2025).
Dia memperkirakan tekanan ini belum akan mereda seiring dengan dibukanya kembali lantai bursa setelah libur panjang dan masih lesunya bursa global. “Akan terus menghadapi penurunan tajam dengan besok, Selasa 8 April, dibukanya lantai bursa menyusul merosotnya indeks bursa di sejumlah kawasan di Asia dan AS dampak Tarif Trump,” tambahnya.
Baca Juga
Sebagai strategi, Irvan merekomendasikan agar pelaku industri asuransi jiwa mulai melakukan diversifikasi dengan mengalihkan sebagian portofolio dari saham ke instrumen yang lebih stabil, seperti Surat Berharga Negara (SBN) dalam denominasi dolar AS dan sukuk. Menurutnya, kedua instrumen tersebut saat ini menawarkan imbal hasil yang meningkat dan bisa menjadi pilihan untuk meredam fluktuasi tajam pasar saham.
Asuransi Umum
Sebelumnya, Irvan juga menyoroti bahwa dalam jangka pendek, lini asuransi pengangkutan laut (marine cargo insurance) yang diselenggarakan asuransi umum akan terdampak langsung akibat penurunan volume ekspor ke AS.
“Yang terutama terdampak dalam waktu dekat adalah lini asuransi pengangkutan laut ke negara AS karena meningkatnya tarif akan berdampak pada jumlah volume ekspor ke AS,” kata Irvan.
Irvan menjelaskan bahwa selama ini, sebagian besar pengangkutan ekspor Indonesia ke AS menggunakan kondisi Free on Board (FOB), yang tidak mencakup asuransi pengangkutan seperti pada kondisi Cost, Insurance, and Freight (CIF). Hal ini berarti penurunan volume ekspor otomatis mengurangi kebutuhan akan asuransi pengangkutan.
Lebih lanjut, dalam jangka menengah dan panjang, Irvan memproyeksikan bahwa asuransi properti dan asuransi kredit akan merasakan dampak dari kebijakan tarif tersebut. Peningkatan nilai tukar rupiah akan menyebabkan biaya impor naik, sementara penurunan pendapatan ekspor akibat kenaikan tarif dapat memaksa banyak pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau bahkan menutup usahanya.
“Dalam jangka menengah dan panjang yang akan terdampak adalah asuransi properti dan asuransi kredit, karena meningkatnya nilai tukar rupiah akan meningkatkan biaya impor di satu sisi dan menurunnya pendapatan ekspor di sisi lain akibat kenaikan tarif akan menyebabkan banyak pengusaha menempuh PHK bahkan gulung tikar,” katanya.