Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Biaya Dana Tinggi Bayangi Bank, Likuiditas Ketat Mengadang?

Biaya dana atau cost of fund tinggi masih mengiringi perbankan Tanah Air dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Ilustrasi likuiditas bank. /Freepik
Ilustrasi likuiditas bank. /Freepik

Bisnis.com, JAKARTA – Biaya dana atau cost of fund tinggi masih mengiringi perbankan Tanah Air dalam tiga bulan pertama tahun ini. Bayang-bayang kondisi likuiditas yang ketat berpotensi mengadang pertumbuhan kinerja bank saat ruang pelonggaran kebijakan moneter belum tampak.

Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) April 2025, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate pada level 5,75%. Penerapan tarif impor resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump hingga tekanan nilai tukar rupiah dipandang sebagai pertimbangan logis bank sentral dalam menahan suku bunga acuan.

Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bahwa likuiditas perbankan hingga Maret 2025 masih memadai, tercermin dari rasio alat likuid terhadap non core deposit (AL/NCD) dan alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) masing-masing sebesar 116,05% dan 26,2%.

Angka itu lebih tinggi dari ambang batas masing-masing senilai 50% dan 10%, kendati relatif stagnan dibandingkan posisi Februari 2025 dengan AL/NCD sebesar 116,76% dan AL/DPK 26,35%.

PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) memaparkan bahwa tren biaya dana perseroan cukup kondusif hingga kuartal I/2025. Menurut Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, hal ini tak terlepas dari komponen dana murah (current account saving account/CASA) yang terus bertumbuh positif.

“Dengan growth 6% [YoY] dari CASA dan 2,2% dari deposito, artinya dari struktur cost, biaya dana di BCA tidak mengalami kenaikan,” katanya dalam konferensi pers kinerja kuartal I/2025 secara virtual, Rabu (23/4/2025).

Dia menjelaskan bahwa hal ini memungkinkan profitabilitas BCA menjadi optimal, tecermin dari pertumbuhan laba 9,8% YoY menjadi Rp14,1 triliun pada periode yang sama. Tak hanya biaya dana, upaya serupa dalam juga dilakukan untuk menekan biaya operasional.

Menurut Jahja, cost income ratio (CIR) berada pada level 28,6% pada kuartal pertama tahun ini, terendah sepanjang sejarah. Efisiensi itu diiringi penyaluran kredit dan penghimpunan simpanan yang proporsional, sehingga dia menilai bahwa likuiditas BCA tak perlu dikhawatirkan.

“Pertumbuhan kredit year to date sampai akhir Maret 2025 sebesar 2,1%, padahal CASA dan DPK kita rata-rata naik 5,3%. Kalau kredit naik 2,1%, dan dana [pihak ketiga] naik 5,3%, tidak akan ada masalah likuiditas, karena kenaikan DPK melebihi dari yang kita lepas dalam bentuk kredit,” terangnya.

Kondisi serupa terjadi pada PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN). Meskipun masih menjadi tantangan, BTN mampu menekan biaya pada awal tahun ini, diiringi pendanaan yang tumbuh positif.

Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu mengatakan bahwa perseroan telah menghimpun DPK sebesar Rp384,7 triliun per kuartal I/2025, naik 7,5% YoY dari Rp357,74 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Komposisi tabungan dan giro berhasil tumbuh double digit 10,1% secara tahunan menjadi Rp196,67 triliun.

“Kontribusi dana murah terhadap total DPK BTN naik menjadi 51,1% dari kuartal I/2024 yang sebesar 49,9%, serta menurunkan biaya dana menjadi 4,0% dari Maret tahun lalu yang sebesar 4,2%,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (24/4/2025).

Terkait fungsi intermediasi, penyaluran kredit BTN juga naik 5,5% YoY dari Rp344,24 triliun menjadi Rp363,11 triliun sepanjang periode yang sama. Dengan penurunan biaya dana dan peningkatan kredit, margin bunga bersih BTN membaik ke level 3,6%, dan laba bersih tumbuh 5,1% YoY menjadi Rp904 miliar.

“BTN tetap menjalankan strateginya secara konsisten di tengah persaingan likuiditas dan biaya dana yang masih mahal, sehingga perseroan mampu mencetak kinerja yang positif pada tiga bulan pertama tahun 2025,” tutur Nixon.

Dari kelompok bank digital, PT Bank Raya Indonesia Tbk. (AGRO) memandang bahwa kondisi cost of fund bank berpotensi stagnan dan cenderung naik, yang mana dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global dan domestik.

Direktur Bisnis Bank Raya Kicky Andrie Davetra menggarisbawahi adanya gejolak perekonomian dunia dalam beberapa waktu terakhir, bersamaan dengan iklim suku bunga acuan dalam negeri yang belum turun.

“Karena sekarang tren suku bunga kan secara relatif masih di-maintain [oleh BI]. Dan kecenderungannya juga bisa jadi akan naik,” katanya di Jakarta Timur, Minggu (20/4/2025).

Dia juga menyebut bahwa kondisi likuiditas perbankan Tanah Air juga cukup ketat dengan adanya instrumen investasi seperti Surat Berharga Negara (SBN) hingga Sekuritas Rupiah BI (SRBI) yang menawarkan imbal hasil atau yield tinggi untuk investor.

Menurut Kicky, biaya dana Bank Raya pada akhir 2024 lalu berada pada kisaran 5,6%, tetapi NIM berhasil naik menuju posisi 4,4%. Dengan demikian, sebagai bank digital, anak usaha PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) berupaya mendorong penyaluran digital lending yang memiliki yield pendapatan bunga di atas 28%.

“Harapan kami nanti cost of fund bisa kita manage di angka 5,6%, kalaupun nanti naik tidak akan lebih dari 6%. Tetapi dengan yield [kredit digital] yang tinggi, harapannya NIM kami juga akan stabil, bahkan cenderung growth,” jelasnya.

Sementara itu, Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) Banjaran Surya Indrastomo melihat adanya pergeseran isu terkait biaya dana perbankan. Menurutnya, penerbitan SRBI yang agresif menjadi perhatian utama pada akhir tahun lalu, tetapi kondisi persaingan dana pada awal tahun ini dipengaruhi oleh momentum penerbitan surat utang negara. 

“Pada kuartal I kemarin yang menjadi persaingan dana antarbank, itu memang front loading dilakukan pemerintah dalam kaitannya dengan issuance [penerbitan surat utang] yang lebih awal,” katanya saat ditemui di Jakarta Pusat.

Menurutnya, perbankan masih akan dihadapkan dengan kondisi saat yield tidak bergerak naik sebagaimana peningkatan biaya dana. Hal ini menjadi tantangan bagi bank untuk menjaga rasio pendapatan bunga bersih.

Dengan demikian, Banjaran menilai bahwa bank yang tidak memiliki basis tabungan atau dana murah yang kuat berpotensi lebih tertekan dalam menjaga margin keuntungan, sehingga pada akhirnya turut menggerus kinerja.

“Jadi konteksnya kalau dia bank tabungan, dia relatively akan memiliki cukup amunisi dana murah untuk bisa menjalankan bisnis yang berkelanjutan,” paparnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper