Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menjelaskan alasan defisit reasuransi terus melebar dalam tiga tahun terakhir. Berturut-turut dari 2022 hingga 2024, defisit reasuransi tercatat sebesar Rp7,95 triliun, Rp10,20 triliun dan menjadi Rp12,10 triliun.
Ketua Umum AAUI Budi Herawan mengatakan defisit reasuransi yang meningkat dalam tiga tahun terakhir memang menjadi perhatian.
"Secara umum, ada beberapa faktor penyebab utamanya. Pertama, peningkatan frekuensi dan severitas klaim, termasuk akibat bencana alam dan risiko-risiko besar lainnya, yang menyebabkan pembayaran klaim ke luar negeri meningkat," kata Budi kepada Bisnis, Selasa (29/4/2025).
Kedua, kapasitas reasuransi dalam negeri yang masih terbatas membuat banyak risiko besar harus ditempatkan ke reasuransi luar negeri.
Hal ini terutama terjadi pada lini-lini asuransi dengan risiko tinggi dan nilai pertanggungan besar seperti asuransi aviasi yang kebutuhannya meningkat seiring bertambahnya jumlah armada pesawat nasional.
Selain itu, risiko tinggi lainnya seperti pada lini asuransi minyak dan gas, serta asuransi energi termasuk pembangkit dan infrastruktur strategis lainnya.
Baca Juga
Ketiga, kondisi global termasuk inflasi dan ketidakpastian geopolitik hingga kenaikan harga reasuransi global (hardening market) menurutnya juga ikut mendorong biaya reasuransi lebih tinggi.
"Keempat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang fluktuatif juga memperbesar nilai defisit dalam rupiah, mengingat sebagian besar penempatan reasuransi ke luar negeri menggunakan mata uang asing," ujarnya.
Sebagai dukungan industri untuk memperkecil defisit reasuransi, Budi mengatakan AAUI mendukung penuh upaya OJK untuk memperkuat ketahanan industri, termasuk melalui penguatan modal dan pendalaman pasar.
Menurutnya, program-program prioritas seperti asuransi dalam proyek nasional, perluasan asuransi wajib (seperti TPL kendaraan bermotor), serta integrasi asuransi dalam sektor-sektor strategis akan membuka peluang pertumbuhan baru.
Kontribusi industri tersebut diwujudkan melalui kesiapan produk, peningkatan kualitas layanan serta kolaborasi aktif dengan pemerintah dan stakeholders terkait.
Namun demikian, Budi menyadari tantangan dalam memperkecil defisit reasuransi ini tetap ada, seperti perlunya edukasi pasar, harmonisasi regulasi, kesiapan infrastruktur teknologi serta penguatan kapabilitas underwriting untuk menangani potensi peningkatan volume dan kompleksitas risiko.
Selain itu, agar strategi OJK dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan, pelaku industri juga perlu memastikan kesiapan infrastruktur internal, baik dari sisi platform digital yang andal, proses underwriting yang prudent dan berbasis data, kesiapan sistem penanganan klaim secara efisien hingga manajemen koleksi premi yang tertib dan terukur.
"Hal-hal ini penting agar ekspansi pasar tetap berjalan dengan prinsip kehati-hatian dan kualitas portofolio tetap terjaga," pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun (PPDP) OJK Ogi Prastomiyono mengatakan bahwa untuk mengurangi ketergantungan asuransi domestik pada reasuransi luar negeri, langkah yang perlu dilakukan adalah melalui peningkatan modal perusahaan asuransi domestik.
"Selain itu, peningkatan kapasitas tenaga ahli di bidang penilaian dan manajemen risiko akan memperkuat kemampuan perusahaan dalam menilai dan mengelola risiko dengan lebih akurat. Sebagai opsi lain, pembentukan perusahaan reasuransi besar domestik bisa menjadi solusi," tandas Ogi.