Bisnis.com, JAKARTA – Industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR) maupun BPR Syariah menyiapkan sejumlah langkah mitigasi kenaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di tengah tantangan perekonomian.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) Tedy Alamsyah menyebut bahwa hal tersebut menjadi bagian dari pengelolaan BPR yang mengedepankan prinsip kehati-hatian.
“Termasuk dalam merespons tantangan ekonomi global, industri akan melakukan langkah-langkah mitigasi untuk mengantisipasi potensi kenaikan NPL,” katanya kepada Bisnis melalui pesan singkat, Rabu (14/5/2025).
Dia melanjutkan bahwa BPR saat ini berupaya meningkatkan daya saing sekaligus memperluas fungsi intermediasi di tengah masyarakat, khususnya segmen masyarakat kecil.
Itu sebabnya, dia menyebut bahwa mitigasi risiko turut diterapkan dalam hal penyaluran kredit baru maupun dengan menjaga kualitas kredit yang ada, agar tetap terjaga dengan baik.
Sejauh ini, Tedy menyebut bahwa industri BPR telah melayani 4 juta nasabah kredit dengan rata-rata nominal kredit Rp38 juta per number of account (NoA).
Baca Juga
Adapun, Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa penyaluran kredit BPR mencapai Rp150,99 triliun pada Februari 2025, tumbuh 6,19% secara tahunan (year on year/YoY) dari Rp142,19 triliun.
Namun, NPL membengkak dari 10,55% pada Februari 2024 menjadi 11,84% pada Februari 2025. Nominal kredit nonlancar menanjak 19,27% YoY menjadi Rp17,88 triliun, dari sebelumnya Rp14,99 triliun.
Kondisi serupa terjadi pada kelompok BPR Syariah, yang menyalurkan penbiayaan Rp19,13 triliun pada Februari 2025, naik 9,85% YoY dari Rp17,42 triliun.
Rasio pembiayaan bermasalah (non-performing financing/NPF) BPRS naik ke level 8,89% dibandingkan 7,26% pada Februari tahun lalu. Nominal NPF membengkak 34,57% YoY ke angka Rp1,7 triliun dari sebelumnya Rp1,26 triliun.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyebut bahwa tingkat NPL pada industri BPR saat ini masih dipengaruhi oleh efek lanjutan (scarring effect) dari pandemi Covid-19.
“Hal ini berdampak pada nasabah perorangan atau UMKM di daerah yang merupakan target BPR,” katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner OJK, Jumat (9/5/2025).