Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merespons tren perlambatan pertumbuhan pembiayaan di industri perusahaan pembiayaan atau multifinance dengan mendorong pelaku industri untuk mulai melakukan diversifikasi portofolio ke sektor-sektor produktif.
OJK mencatat, piutang pembiayaan multifinance per Maret 2025 mencapai Rp510,97 triliun atau tumbuh 4,6% secara tahunan (year on year/YoY). Meski masih tumbuh, angka ini menunjukkan tren perlambatan bila dibandingkan dengan Februari 2025 yang tumbuh 5,92% YoY dan Januari 2025 sebesar 6,04% YoY.
Kondisi ini melanjutkan tren sepanjang 2024 yang juga mencatatkan perlambatan signifikan. Per Desember 2024, piutang pembiayaan multifinance tumbuh 6,92% YoY menjadi Rp503,43 triliun.
Padahal pada Desember 2023, pertumbuhannya mencapai 13,23% YoY menjadi Rp470,86 triliun. Bahkan pada November 2023, pertumbuhan sempat menyentuh angka 14,4% YoY.
Menanggapi hal ini, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman mengatakan bahwa sektor multifinance perlu mulai memperluas fokus pembiayaannya.
“Untuk menghadapi tantangan, industri multifinance didorong untuk melakukan diversifikasi ke sektor produktif antara lain seperti alat berat, energi terbarukan, dan kendaraan listrik,” kata Agusman dalam jawaban tertulis pada Senin (19/5/2025).
Baca Juga
Agusman menambahkan, pertumbuhan pembiayaan modal kerja yang mencapai 11,07% YoY menjadi salah satu pendorong utama total piutang pembiayaan yang tercatat per Maret 2025. Seiring dengan upaya menjaga stabilitas dan tata kelola industri, dia menyebut OJK juga memperkuat kerangka manajemen risiko.
Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi PVML. Peraturan ini mengatur sejumlah aspek penting, mulai dari tata kelola hingga sistem pengendalian internal untuk meminimalisasi risiko kredit.
“Penerapan manajemen risiko untuk meminimalisir potensi risiko kredit, yaitu paling sedikit mencakup: pengawasan aktif Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan Pengelola; kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Risiko; kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko, serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan sistem pengendalian internal yang menyeluruh,” papar Agusman.
Sementara dalam hal pengawasan makroprudensial, Agusman memastikan bahwa hingga saat ini belum ada perusahaan pembiayaan yang dinilai berdampak sistemik.
“Sesuai best practices, penetapan lembaga keuangan sistemik terutama didasarkan pada kriteria ukuran [size] keterkaitan [interconnectedness], dan kompleksitas [complexity]. Berdasarkan hal-hal tersebut, sejauh ini tidak terdapat multifinance yang dinilai berdampak sistemik,” katanya.