Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom memandang langkah Bank Indonesia memangkas suku bunga lebih cepat dari bank sentral AS The Fed berisiko menyebabkan rupiah melemah di tengah tren penguatan selama satu bulan terakhir.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede melihat penurunan BI Rate sebesar 25 bps ke 5,5% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Mei 2025 mencerminkan pergeseran kebijakan Bank Indonesia (BI) dari fokus stabilitas (pro-stability) menuju dorongan pertumbuhan (pro-growth).
Namun, langkah ini menimbulkan pertimbangan penting jika dikaitkan dengan kondisi eksternal yang masih belum sepenuhnya kondusif. Risiko pasar akan meningkat apabila BI menurunkan suku bunga lebih cepat dari The Fed.
“Terutama jika pasar melihat adanya potensi pelebaran selisih suku bunga [interest rate differential] yang menyebabkan tekanan pelemahan pada nilai tukar rupiah,” ujarnya, Rabu (21/5/2025).
Ketidakpastian negosiasi tarif global yang masih tinggi juga dapat memicu volatilitas aliran modal asing.
Pasalnya, jika persepsi investor terganggu, capital outflow berpotensi terjadi dan berdampak negatif pada stabilitas pasar keuangan, memperbesar tekanan terhadap cadangan devisa dan potensi imported inflation.
Baca Juga
Meski demikian, Josua turut melihat risiko bagi perekonomian domestik apabila BI mempertahankan suku bunga terlalu lama. Ketika inflasi terkendali dan permintaan domestik masih lemah, mempertahankan suku bunga tinggi dapat memperpanjang fase perlambatan ekonomi.
Bahkan, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I/2025 hanya 4,87% secara tahunan (year on year/YoY), yang lebih rendah dari kuartal IV/2024 (5,02%), penundaan pelonggaran moneter justru berisiko menekan permintaan konsumsi dan investasi lebih lanjut.
“Maka, keputusan menurunkan suku bunga saat ini dapat dibaca sebagai strategi antisipatif untuk mendorong kembali momentum pertumbuhan, sembari tetap menjaga stabilitas eksternal melalui instrumen moneter lain seperti SRBI dan langkah stabilisasi nilai tukar melalui triple intervention,” tuturnya.
Di samping itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual menyampaikan bahwa volatilitas ke depan masih relatif cukup tinggi. Namun, kondisi ekonomi Indonesia juga cukup lemah.
Alhasil, BI memilih untuk memangkas suku bunga acuannya dengan harapan memberikan suasana yang lebih kondusif untuk sektor ril untuk mengembangkan bisnis.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) Hosianna Evalitas Situmorang melihat sikap waspada terhadap pelemahan rupiah saat BI memangkas suku bunga lebih cepat dari The Fed karena aliran modal asing ke pasar keuangan Indonesia cukup kuat dan menopang nilai tukar.
Tercatat rupiah terhadap dolar AS pada Mei 2025 (hingga 20 Mei 2025) menguat sebesar 1,13% (ptp) dibandingkan dengan posisi akhir April 2025.
Sementara pada penutupan perdagangan hari ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat ke level Rp16.387 per dolar AS usai Bank Indonesia memangkas BI Rate 25 basis poin.
BI Pastikan Jaga Rupiah
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyadari saat ini rupiah masih bergerak secara volatil, terlebih ketidakpastian ekonomi global masih tetap tinggi sekalipun tensi AS dan China mulai mereda.
“Kita perlu tetap waspada dan BI tidak segan-segan akan memastikan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui intervensi di NDF di luar negeri maupun spot, DNDF dan pembelian SBN,” ujarnya dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG), Rabu (21/5/2025).
Perry menyampaikan pihaknya terus melakukan langkah stabilisasi setiap hari yang dirinya sebut around the clock dan around the world dengan intervensi Non Deliverable Forward (NDF) di Hongkong, Eropa, dan New York.
Di samping itu, stabilisasi nilai tukar juga tetap dilakukan di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN).
Selama tahun 2025 (hingga 20 Mei 2025), Bank Indonesia telah membeli SBN sebesar Rp96,41 triliun, yaitu melalui pasar sekunder sebesar Rp64,99 triliun dan pasar primer dalam bentuk Surat Perbendaharaan Negara (SPN), termasuk syariah, sebesar Rp31,42 triliun.
Keyakinan penguatan rupiah tersebut juga berasal dari pergesesran aliran modal yang tidak hanya ke negara dan aset yang aman (safe haven), namun juga mulai masuk ke negara emerging market termasuk Indonesia.