Bisnis.com, Jakarta — Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan mulai menjalankan mandat barunya sebagai penjamin polis asuransi pada 2028. Dengan kebijakan ini, proteksi terhadap industri asuransi nasional akan makin berlapis, mulai dari skema reasuransi hingga peran LPS sebagai penjamin terakhir.
Direktur Utama PT Asuransi Asei Indonesia (Asei) Dody Achmad Sudiyar menyatakan bahwa LPS akan berperan sebagai penjamin terakhir (last resort) bagi pemegang polis ketika perusahaan asuransi mengalami kegagalan memenuhi kewajiban akibat kebangkrutan.
“Dengan demikian, sinergi antara LPS dan reasuradur dapat berupa perlindungan berjenjang atau layering protection, di mana reasuransi menanggung risiko teknis (klaim besar), sedangkan LPS menanggung risiko sistemik (gagal bayar akibat insolvensi),” ujar Dody kepada Bisnis, Senin (28/7/2025).
Ia menambahkan bahwa skema reasuransi selama ini sudah berfungsi untuk mengalihkan risiko dari perusahaan asuransi ke reasuradur demi menjamin kemampuan membayar klaim dalam kondisi ekstrem. Sementara, penjaminan LPS dapat menjadi mitigasi risiko sistemik apabila terjadi kegagalan perusahaan asuransi besar.
"Sedangkan, reasuransi bertindak untuk mencegah potensi lonjakan klaim di sektor keuangan," jelasnya.
Kehadiran LPS juga diyakini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi. Menurut Dody, kombinasi reasuransi yang kuat dan perlindungan dari LPS dapat mendongkrak keyakinan pemegang polis, sekaligus mendorong peningkatan penetrasi asuransi di Indonesia yang saat ini masih rendah.
Baca Juga
Ia juga menilai penjaminan LPS dapat menjadi pemicu peningkatan tata kelola industri. Hal ini dikarenakan peserta penjaminan akan diwajibkan memenuhi standar kesehatan keuangan tertentu seperti risk based capital (RBC).
Meski demikian, Dody menggarisbawahi sejumlah tantangan implementasi penjaminan polis oleh LPS.
Pertama, skema pembayaran iuran penjaminan perlu dirumuskan secara jelas. Besaran iuran tidak boleh terlalu tinggi agar tidak menekan margin pelaku usaha, dan mekanisme pembayaran perlu dipastikan apakah bersifat ex-ante (berbasis data historis) atau ex-post (berdasarkan data aktual).
Kedua, ada potensi moral hazard, di mana perusahaan asuransi menjadi kurang disiplin karena merasa dijamin oleh LPS. Untuk itu, menurut Dody, sistem pengawasan ketat mutlak dibutuhkan.
Ketiga, tidak semua lini asuransi dinilai layak untuk dijamin. Produk-produk dengan risiko kompleks seperti unit linked dinilai perlu dikecualikan. Dody menyarankan adanya penetapan limit dan lini bisnis yang dijamin oleh LPS.
“Diperlukan koordinasi OJK-LPS untuk merumuskan regulasi terkait mekanisme resolusi perusahaan asuransi gagal, mirip resolusi bank oleh LPS. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan literasi publik agar masyarakat paham bahwa LPS menjamin terbatas, tidak semua klaim 100% dibayar,” pungkasnya.