Bisnis.com, JAKARTA — Perbedaan atau gap suku bunga antarotoritas keuangan mulai menjadi sorotan, khususnya antara Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Bisnis mencatat, LPS menetapkan pemangkasan tingkat bunga penjaminan (TBP) simpanan rupiah sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,00% untuk bank umum dan 6,5% untuk BPR. Sementara itu, BI menetapkan suku bunga acuannya (BI Rate) pada level 5,25%. Dengan demikian, terdapat selisih sebesar 125 bps dari LPS Rate untuk simpanan rupiah bank umum dengan BI Rate.
Kondisi ini memperpanjang tren sejak 2022, di mana bunga penjaminan LPS mulai berada di bawah suku bunga acuan BI. Padahal, pada periode sebelum pandemi hingga sekitar 2021, bunga penjaminan LPS cenderung berada di atas BI Rate.
Bank Indonesia (BI) menyatakan tidak menginginkan adanya perbedaan suku bunga acuan yang justru saling mengunci antarlembaga. Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI Erwin Gunawan Hutapea mengatakan bahwa isu perbedaan suku bunga menjadi pembahasan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), termasuk kaitannya dengan suku bunga penjaminan LPS.
"Tentu dalam konteks itu kami [Bank Indonesia] tidak menginginkan bahwa adanya beberapa suku bunga yang dimiliki masing-masing otoritas dalam menjalankan tugasnya itu bisa sifatnya saling kunci-mengunci dalam kita menurunkan suku bunga," ujar Erwin dalam acara Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025, Selasa (29/7/2025).
Dia menegaskan, yang menjadi fokus utama BI saat ini terkait suku bunga yaitu menjaga stabilitas. Selain itu juga memastikan transmisi penurunan suku bunga acuan benar-benar berdampak pada penurunan suku bunga kredit. Dengan demikian, pertumbuhan kredit dapat terus didorong untuk menopang pemulihan ekonomi.
Terkait dengan suku bunga acuan BI yang saat ini berada pada level 5,25%, sementara suku bunga penjaminan LPS berada di bawahnya, muncul pertanyaan apakah perbedaan tersebut turut menjadi faktor penahan bagi bank untuk menurunkan bunga deposito. Pasalnya, suku bunga simpanan di atas 5% tidak dijamin oleh LPS.
Menanggapi hal itu, Erwin mengatakan BI selalu melakukan asesmen berkala terhadap ruang penurunan suku bunga, baik dari sisi global maupun domestik. Menurutnya, kebijakan suku bunga BI tetap independen.
"Bank Indonesia dari waktu ke waktu, melihat perkembangan yang ada di global maupun domestik, tentu yang dilihat Bank Indonesia adalah menjaga stabilitas, setelah stabilitas bisa kami jaga, kami melihat ruang penurunan suku bunganya," jelasnya.
Erwin juga menambahkan bahwa diskusi dengan LPS terus dilakukan agar suku bunga antarotoritas dapat saling mendukung dan tidak justru menimbulkan hambatan transmisi kebijakan moneter.
Terpisah, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan bahwa LPS membuka peluang untuk menurunkan tingkat bunga penjaminan seiring tren penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia
Dia menegaskan penyesuaian bunga penjaminan akan dilakukan secara hati-hati dengan mengacu pada formula yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan untuk menjaga efektivitas transmisi kebijakan moneter.
“Jadi saya tidak bisa sembarang mengubah, karena itu menggunakan formula yang telah ditetapkan. Kalau suku bunga pasar turun, ya kita ikut turun. Kalau pasar tetap, kita juga tetap,” saat ditanya sela-sela KSSK.
Purbaya menyampaikan bahwa tren suku bunga pasar saat ini mulai menunjukkan penurunan secara bertahap, sejalan dengan kebijakan suku bunga acuan yang telah lebih dulu dipangkas oleh Bank Indonesia.
“Sekarang kelihatannya mulai turun sedikit-sedikit mengikuti kebijakan suku bunga acuan yang sebelumnya dan mengikuti juga penurunan BI-Rate. Jadi kemungkinan besar, kami akan menyesuaikan suku bunga penjaminan agar lebih sinkron dan tidak mengganggu transmisi kebijakan moneter, khususnya dari Bank Indonesia,” kata Purbaya
Sebelumnya Purbaya menyampaikan bahwa penentuan tingkat bunga penjaminan (TBP) tidak serta-merta mengikuti BI Rate, tetapi mempertimbangkan kondisi sistem perbankan dan perekonomian nasional.
“Saat ini kondisinya membuat suku bunga LPS berada di bawah BI. Ke depan, tergantung situasi,” kata Purbaya kepada Bisnis, Selasa (15/7/2025).
Sebagaimana diketahui, tren disparitas suku bunga LPS dan Bank Indonesia mulai dari 2022. Di mana, bunga penjaminan LPS mulai berada di bawah suku bunga acuan BI. Padahal, pada periode sebelum pandemi hingga sekitar 2021, bunga penjaminan LPS cenderung berada di atas BI Rate.
Jika ditilik ke belakang, sepanjang periode Januari 2019 hingga Juli 2021, tingkat bunga penjaminan LPS untuk simpanan rupiah di bank umum berada di atas BI Rate dengan perbedaan antara 50 bps hingga 125 bps.
Pada periode September 2021 hingga Mei 2022 keduanya berada dalam level yang sama, sebesar 3,50%. Kemudian, pergerakan TBP LPS berada di bawah BI Rate dimulai pada kisaran kuartal IV/2022 atau pada bulan Oktober saat TBP simpanan rupiah bank umum sebesar 3,75% dibanding bunga acuan sebesar 4,75%. Dengan demikian terdapat perbedaan sebesar 100 bps.
Sejak itu hingga kini, TBP LPS selalu di bawah BI Rate dengan perbedaan terbesar 200 bps pada periode April 2024 hingga Agustus 2024, dengan bunga penjaminan simpanan rupiah di bank umum sebesar 4,25% dan suku bunga acuan sebesar 6,25%.
Muncul Kekhawatiran
Namun, disparitas antara bunga penjaminan dan BI Rate ini memunculkan kekhawatiran. Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menilai bahwa gap tersebut dapat berdampak pada perilaku deposan dan risiko sistemik.
“Apabila bunga simpanan bank lebih tinggi dari bunga penjaminan LPS, maka simpanan nasabah bisa tidak dijamin. Ini membuat nasabah cenderung memindahkan dana ke bank besar yang dianggap lebih aman,” sebut Trioksa kepada Bisnis.
Selain itu, lanjut Trioksa, suku bunga simpanan yang tinggi akan menekan bank untuk menetapkan bunga kredit yang juga tinggi, sehingga berpotensi meningkatkan risiko kredit.
Trioksa menilai, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, idealnya tingkat bunga penjaminan tidak jauh dari BI Rate, atau bahkan berada dalam level yang sama. “Dengan begitu, bank tetap punya ruang kompetitif tanpa meningkatkan risiko yang berlebihan,” katanya.