Bisnis.com, JAKARTA — Industri asuransi sedang menghadapi tantangan dari aspek persaingan bisnis, tekanan ekonomi global, hingga permasalahan literasi keuangan yang menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap asuransi belum optimal.
Menurut Plt. Head of Indonesia Financial Group atau IFG Progress Ibrahim Kholilul Rohman, masyarakat cenderung fokus pada hasil yang diberikan perusahaan asuransi dan belum memahami secara detail proses kerjanya.
"Jadi memang the challenge di Indonesia itu adalah eksposur dari keadaan industri asuransi sendiri itu sering tidak didengar oleh orang. Jadi orang hanya melihat output-nya. Business process-nya itu tidak tersampaikan," ungkapnya kepada wartawan di Graha CIMB Niaga, Rabu (20/7/2025).
Dia menilai sejauh ini hanya beberapa pihak saja yang memahami proses kerja perusahaan asuransi. Akibatnya permasalahan seperti rasio klaim yang fluktuatif sulit tersampaikan ke masyarakat.
Hal itu dia ungkapkan atas pro dan kontra skema co-payment. Dia berharap kepada masyarakat agar dapat memahami secara keseluruhan proses kerja asuransi.
Pasalnya, dalam konteks co-payment, masyarakat cenderung menyalahkan satu pihak saja. Padahal pada skema tersebut banyak pihak yang terlibat.
Baca Juga
"Harusnya ini dilihat dari sebuah ekosistem secara menyeluruh. Jadi, sebenarnya value chain dari kesehatan itu terdistribusi di mana. Mulai dari farmasi, kemudian rumah sakit, kemudian dokter, dan tenaga paramedisnya, dan sampai ke pemegang polis," katanya.
Artinya, masyarakat perlu menilai secara objektif untuk menilai skema co-payment.
"Jadi jangan sampai ada eksploitasi pada satu value chain, kemudian seakan-akan yang salah adalah asuransi kesehatan. Karena kenapa? Karena dia harus menutup semua klaim pada terjadi overtreatment, overmedication misalnya," pungkas Ibrahim.
Seperti diketahui, co-payment adalah pembagian pembayaran klaim antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis, di mana pemegang polis akan menanggung 10% dari total biaya klaim. Rencananya akan berlaku pada awal 2026.