Bisnis.com, JAKARTA--Di Amerika Serikat, para karyawan punya kebiasaan membeli kopi sebelum berangkat kerja.
Kebiasaan tersebut berulang hampir setiap hari. Melihat hal itu, financial advisor David Bach membuat istilah the latte factor, untuk menggambarkan pengeluaran kecil yang sebenarnya jika dikumpulkan dapat bermanfaat untuk investasi.
Coba tengok harga segelas kopi di gerai ternama di Jakarta, ada dikisaran Rp40.000-Rp50.000. Harga yang lumayan bukan? Jika kebiasaan membeli kopi sering dilakukan misalnya seminggu sekali saja, berapa uang yang dihabiskan sebulan? Jumlahnya sekitar Rp160.000.
Menurut perencana keuangan Ferdie Darmawan, kebiasaan nongkrong sembari ngopi semacam itu sebetulnya dapat dikurangi sehingga dananya dapat dialokasikan untuk investasi.
Jika setiap bulannya dana sebesar Rp160.000 tersebut diinvestasikan ke reksadana saham dengan imbal hasil 20% per tahun selama 20 tahun, maka 20 tahun mendatang dapat mengantongi kurang lebih Rp500 juta.
Kebiasaan ngopi atau ke kafe adalah salah satu contoh the latte factor. Menurut Ferdie, the latte factor dapat membuat seseorang takjub karena jumlahnya ternyata dapat menghasilkan keuntungan yang relatif besar jika dapat dialokasikan dengan bijak.
Seseorang biasanya menciptakan pengeluaran-pengeluaran kecil tersebut tanpa sadar. Contoh lainnya kebiasaan makan di luar dalam frekuensi yang sangat sering, administrasi bank (jika punya lebih dari satu rekening bank), kebiasaan selalu lewat jalan tol, kebiasaan belanja online pada wanita, merokok, dan banyak lagi tergantung kebiasaan masing-masing pribadi.
“Jika the latte factor dibiarkan, orang cenderung akan selalu merasa kekurangan dan tidak pernah merasa punya dana lebih untuk berinvestasi maupun menabung,” katanya kepada Bisnis.
Padahal, pengeluaran-pengeluaran kurang penting yang disebut the latte factor tersebut dapat ditekan atau dihilangkan. Setelah itu, dananya dimanfaatkan untuk menabung dan berinvestasi. Dengan begitu, Anda dapat memiliki aset atau sejumlah uang yang tak terpikirkan sebelumnya.