Adapun, Analis BRI Danareksa Sekuritas, Victor Stefano dan Naura Reyhan Muchlis menjelaskan bahwa pembiayaan koperasi tak terlepas dari risiko kredit bermasalah alias NPL yang tinggi.
“Menurut Pefindo, pembiayaan kepada koperasi memiliki rasio NPL sebesar 8,5%. Rasio tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rasio NPL perbankan di sektor lainnya, yang berarti terdapat risiko lebih tinggi di sektor koperasi,” tulis analis BRI Danareksa Sekuritas dalam publikasi riset, Senin (10/3/2025).
Lebih lanjut, eksposur kredit perbankan terhadap koperasi terbilang kecil. Dari 130.000 koperasi dengan total aset Rp275 triliun dan omzet sebesar Rp197 triliun pada 2023, bank disebut hanya menyumbang sekitar 10% terhadap modal eksternal koperasi.
Menurut Victor dan Naura, bank dapat menghadapi risiko kredit dan likuiditas yang lebih tinggi. Dia lantas mencontohkan skenario terburuk apabila bank BUMN membagi pembiayaan koperasi secara merata (Rp3 miliar-Rp5 miliar per tahun) serta tingkat NPL yang tetap 8,5%.
“Hal ini dapat menyebabkan peningkatan CoC [cost of credit/biaya kredit] sebesar 49-82 bps dan penurunan laba sebesar 11-56%,” jelasnya.
Namun, mengingat eksposur Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang besar, BRI diproyeksikan akan menanggung porsi penyaluran kredit koperasi yang lebih banyak dibandingkan bank pelat merah lainnya.
Di samping itu, BRI Danareksa Sekuritas menilai bahwa risiko likuiditas juga menghantui Bank BUMN apabila menanggung sendiri pembiayaan program koperasi ini. Hal ini berkaitan dengan penggunaan dana pihak ketiga sebagai sumber penyaluran kredit.
“[Bank BUMN] mungkin juga akan menghadapi risiko likuiditas, yang mengharuskan mereka untuk menggunakan sekitar 5-9% dari simpanan mereka saat ini,” jelas riset tersebut.