Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AFPI Beberkan Risiko Kredit Macet saat Pinjol Konsumtif Dipaksa jadi Produktif

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengatakan ada risiko kredit macet saat pinjaman online (pinjol) konsumtif dipaksa menjadi produktif.
Ilustasi nasabah mengakses aplikasi Kredivo di Jakarta beberapa waktu lalu./Bisnis - Fanny Kusumawardhani
Ilustasi nasabah mengakses aplikasi Kredivo di Jakarta beberapa waktu lalu./Bisnis - Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengatakan ada risiko besar ketika perusahaan penyelenggara P2P lending yang fokus pada pembiayaan konsumtif didorong untuk memperbesar porsi pinjamannya ke sektor produktif demi memenuhi target dalam peta jalan pengembangan industri P2P lending.

Entjik S.Djafar, Ketua Umum AFPI menilai proses shifting untuk platform konsumtif ke produktif adalah hal yang tidak mudah dan sangat berisiko. Dari jumlah pemain, saat ini ada sebanyak 48 dari 97 perusahaan penyelenggara fintech P2P lending yang masih fokus pada pendanaan multiguna atau konsumtif.

"Apabila para penyelenggara multiguna dipaksakan untuk masuk membiayai borrower produktif kami sangat khawatir hal ini akan berdampak pada melonjaknya kredit bermasalah yang sangat signifikan," kata Entjik kepada Bisnis, Selasa (22/4/2025).

Entjik menjelaskan bahwa secara credit risk ataupun risk acceptance criteria multiguna dan produktif sangat jauh berbeda, sehingga platform pinjaman daring yang selama ini hanya memiliki risk control maupun credit scoring multiguna harus mengubah ataupun menambah learning machine mereka.

"Untuk melakukan hal itu tidak gampang dan sangat membutuhkan waktu untuk belajar menyesuaikan market dan risk," ujarnya.

Selain butuh waktu lama dan berisiko kredit memburuk, penyesuaian pinjaman konsumtif menjadi pinjaman produktif tersebut menurut Entjik juga akan menimbulkan konsekuensi berupa peningkatan beban operasional perusahaan.

Sepanjang 2024 saja, jumlah beban operasional industri P2P lending tumbuh 16,64% year on year (YoY) menjadi Rp13,2 triliun per Desember 2024, dibanding beban operasional sebesar Rp11,30 triliun per Desember 2023.

"Pastinya beban cost akan lebih besar, karena untuk pembiayaan produktif harus dilakukan secara hybrid, karena kita belum menganut full online automation dikarenakan infrastruktur untuk credit scoring belum memadai," jelasnya.

Sebegai informasi, dalam Peta Jalan Penguatan Industri P2P lending 2023-2028 porsi pinjaman produktif fintech P2P lending ditargetkan sebesar 40-50% pada rentang waktu 2025-2026. Sementara realisasinya per Februari 2025 presentasenya baru mencapai 36,53%.

"Jadi menurut saya shifting pinjaman konsumtif ke produktif ini akan sangat berisiko. Karena mereka tidak expert ataupun ahli dalam hal pendanaan produktif. Pendanaan produktif membutuhkan keahlian tersendiri serta credit acknowledge yang spesifik," pungkasnya.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK (PVML) Agusman mengatakan OJK mendorong perusahaan P2P lending menyalurkan pembiayaan mereka ke sektor produktif.

"Penyelenggara Pindar terus didorong untuk meningkatkan pendanaan pada sektor produktif dan/atau UMKM sebagaimana yang tertuang dalam Roadmap Pengembangan dan Penguatan LPBBTI/Pindar periode 2023-2028," ujar Agusman.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper