Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Prediksi Pembiayaan Kendaraan Masih Melambat pada 2025

Ekonom CELIOS menilai kondisi daya beli masyarakat yang belum pulih menjadi faktor utama perlambatan pembiayaan kendaraan.
Karyawan melayani nasabah di salah satu kantor Astra Credit Company (ACC) di Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Karyawan melayani nasabah di salah satu kantor Astra Credit Company (ACC) di Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA— Industri pembiayaan diperkirakan akan menghadapi tantangan yang cukup berat sepanjang 2025, terutama di sektor barang tahan lama seperti kendaraan bermotor. 

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menilai kondisi daya beli masyarakat yang belum pulih menjadi faktor utama perlambatan ini 

“Perusahaan pembiayaan untuk barang-barang yang tahan lama seperti kendaraan bermotor akan mengalami perlambatan akibat kondisi daya beli masyarakat yang belum pulih,” kata Huda kepada Bisnis pada Minggu (18/5/2025). 

Dia menjelaskan, stagnasi pendapatan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir turut berkontribusi terhadap lemahnya permintaan kredit kendaraan.

Merujuk data penjualan mobil baru secara tahunan pada 2024 yang mengalami penurunan, Huda memperkirakan tren serupa akan berlanjut pada 2025.

“Permintaan untuk kredit motor ataupun mobil akan stagnan. Jika kita mengacu data penjualan mobil baru secara tahunan di 2024 yang menurun, saya rasa kondisi 2025 masih akan serupa. Terlebih banyak yang terkena pemutusan hubungan kerja yang akan membuat orang berpikir untuk kredit barang tahan lama,” paparnya.

Meski demikian, Huda menambahkan bahwa permintaan pembiayaan konsumsi harian melalui skema buy now pay later (BNPL) atau paylater justru diperkirakan mengalami pertumbuhan. Alasannya, kata dia, kebutuhan primer tetap ada dan bahkan meningkat, sementara banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan.

“Di sisi lain, barang-barang konsumsi yang dapat dibeli dengan pembiayaan seperti paylater dan sebagainya, bisa meningkat akibat permintaan yang naik. Paylater masih menjadi katalis bagi pertumbuhan kredit pembiayaan konsumtif. Banyak yang kehilangan pekerjaan, namun kebutuhan primer masih ada bahkan meningkat secara nilai. Pembiayaan paylater bisa menjadi pilihan bagi mereka untuk bisa ‘menyambung’ hidup,” tambahnya.

Kredit Macet Usai Lebaran 

Hal senada disampaikan oleh praktisi dan pengamat industri pembiayaan Jodjana Jody. Sebelumnya, dia menilai bahwa pada kuartal kedua tahun ini akan menjadi masa yang berat bagi industri, terutama karena tren peningkatan kredit macet usai Lebaran.

“Kuartal II/2025, saya rasa akan berat. Biasanya sesudah Lebaran, kredit macet meningkat lagi. Jadi bulan April akan sangat drop,” kata Jody.

Menurutnya, harapan membaiknya kinerja industri di bulan-bulan berikutnya masih dibayangi ketidakpastian global, termasuk dampak dari kebijakan tarif balasan (reciprocal tariffs) dari Amerika Serikat yang menekan optimisme pasar.

“Sebenarnya, kami sangat berharap Mei ke depan akan lebih baik, namun karena situasi global dihantui ketakutan karena efek tarif resiprokal AS yang sangat di luar imaginasi, maka dikhawatirkan bisnis akan lesu, likuiditas perbankan makin ketat, serta credit process yang masih akan ketat. Jadi kuartal 2 kondisinya cukup berat,” jelasnya.

Jodjana menambahkan bahwa strategi perusahaan pembiayaan ke depan akan difokuskan pada pembiayaan yang lebih sehat, dengan menyasar segmen konsumen yang keuangannya masih stabil. Perusahaan juga akan mengandalkan pembiayaan repeat order serta memperkuat tim collection untuk menjaga kualitas aset.

“Strategi yang akan dilakukan saya rasa masih sekitar pembiayaan yang sehat, lebih memilih segmen konsumen yang keuangannya masih stabil di tengah berbagai isu ini; serta melakukan ekstensifikasi credit repeat order. Untuk perbaikan AR, kita harus memperkuat collection dan memberikan solusi yang win win untuk konsumen yang give up,” ujarnya.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran pembiayaan per Maret 2025 hanya tumbuh 4,6% secara tahunan (year on year/YoY) mencapai sebanyak Rp510,97 triliun. 

Angka ini melambat dibandingkan pertumbuhan pada Januari dan Februari yang masing-masing sebesar 6,04% dan 5,92%.

Pertumbuhan pada Maret 2025 masih didukung pembiayaan modal kerja yang tumbuh sebesar 11,07% YoY.  Selain itu, profil risiko multifinance masih terjaga dengan rasio Non Performing Financing (NPF) gross tercatat turun menjadi 2,71%, pada Februari 2025 yakni 2,87%.

Sementara NPF net berada pada kisaran 0,80%, di mana turun dibandingkan Februari 2025 yakni 0,92%. 

Lalu, gearing ratio perusahaan pembiayaan tercatat sebesar 2,26 kali per Maret 2025, di mana Februari 2025 yakni 2,20 kali. Angka tersebut masih berada di bawah batas maksimum sebesar 10 kali. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper