Bisnis.com, JAKARTA-– Dewan Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP KSBSI) menyatakan penolakan tegas terhadap rencana pemerintah mengimplementasikan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam layanan BPJS Kesehatan.
Kebijakan yang dijadwalkan mulai berlaku pada Juli mendatang dinilai akan menimbulkan ketimpangan akses layanan kesehatan serta berpotensi menghilangkan prinsip dasar Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yaitu gotong royong dan keadilan sosial.
Ketua Umum DPP KSBSI, Johannes Dartha Pakpahan, menilai penerapan KRIS justru memperburuk pelayanan kesehatan, terutama bagi peserta JKN dari kalangan buruh. Ia menegaskan bahwa penghapusan sistem kelas 1, 2, dan 3 dan diganti dengan satu standar layanan rawat inap akan memicu persoalan baru di lapangan.
“Jika KRIS ini diterapkan, akan terjadi penurunan jumlah tempat tidur untuk peserta JKN. Rumah sakit pemerintah hanya diwajibkan menyediakan 60% ruang rawat inap untuk peserta JKN, sementara rumah sakit swasta hanya 40%. Padahal saat ini hampir 100% tempat tidur di rumah sakit telah digunakan untuk peserta JKN dan tetap penuh, bahkan banyak pasien yang harus menunggu di IGD,” kata Dartha dalam Forum Jaminan Sosial yang digelar Dewan Jaminan Sosial Nasional, Rabu (21/05).
Dia menyoroti bahwa dengan kondisi keterbatasan ruang rawat inap saat ini saja banyak peserta JKN kesulitan mendapatkan layanan, apalagi jika jumlah ruang JKN berkurang akibat penerapan KRIS. Menurutnya, ketentuan baru ini bisa memperlebar jurang ketimpangan antara pasien peserta JKN dan pasien umum.
Lebih lanjut, Dartha juga mempertanyakan urgensi kebijakan ini dan menyebut kemungkinan adanya motif tersembunyi di baliknya. Selain penurunan kapasitas, Dartha juga menyoroti aspek kenyamanan layanan.
“Sangat disayangkan jika KRIS ini diterapkan akan berdampak terhadap pelayanan bagi para buruh. Buruh yang selama ini memiliki hak kelas 1 (dua tempat tidur per kamar), harus rela dipindah ke kamar berisi empat tempat tidur sesuai standar KRIS. Ini dianggap sebagai penurunan kualitas dan kenyamanan layanan,” katanya.
Oleh karena itu, DPP KSBSI mendesak pemerintah, khususnya Presiden Republik Indonesia dan para regulator jaminan sosial, untuk mengkaji ulang kebijakan ini demi kepentingan publik, khususnya buruh yang selama ini menjadi peserta aktif program JKN.
Sikap senada juga disampaikan oleh Ketua DPC Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, Ahmad Supriadi. Ia menyoroti lemahnya keberpihakan regulator terhadap rakyat kecil.
“Para regulator harus bekerja mewakili rakyat dan memiliki keberpihakan kepada rakyat… dan tidak berorientasi kepada profit dan kepentingan apapun yang bersifat subjektif,” ungkapnya.
Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timbul Siregar, mengkritisi proses pembentukan regulasi KRIS yang dinilai tidak melibatkan partisipasi publik. “Penetapan regulasi mengenai KRIS ini tidak melibatkan masyarakat di program JKN, ini jelas kami tidak pernah dilibatkan,” tegasnya.
Dia menekankan bahwa seharusnya regulasi yang berkaitan dengan layanan publik seperti JKN tunduk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 yang mengharuskan keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi. Timbul juga menyampaikan kekhawatirannya bahwa KRIS bisa membuka jalan bagi komersialisasi layanan kesehatan.
“Faktanya kalau peserta mau ke rumah sakit kita selalu mendapatkan kendala. Masih ada peserta yang kesulitan mendapatkan ruang rawat inap. Khawatirnya adalah, dengan rencana penurunan kualitas layanan melalui KRIS ini akan menjadi pembuka bagi pemerintah dan rumah sakit untuk mendorong peserta memanfaatkan asuransi komersial dalam mengakses pelayanan,” ujarnya.
Timbul menekankan bahwa penyederhanaan kelas tidak boleh mengurangi kualitas layanan. “Regulasi terkait penerapan KRIS bukan penyetaraan kelas dalam arti hanya ada satu kelas, melainkan upaya standarisasi pelayanan di ruang rawat inap,” tutupnya.