Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia menyampaikan kebijakan perluasan pendanaan melalui Peningkatan Rasio Pendanaan Luar Negeri atau RPLN baru akan terasa efeknya ke pertumbuhan ekonomi paling cepat dalam kurun waktu satu tahun.
Artinya, kebijakan RPLN yang akan berlaku per 1 Juni 2025 nanti ini efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi baru akan tampak pada Juni 2026.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) Bank Indonsia Solikin M. Juhro berharap dengan adanya RPLN dapat meningkatkan pendanaan bank dari luar negeri, sehingga mendorong penyaluran kredit yang pada akhirnya mengungkit ekonomi lebih tinggi.
“Kondisi makronya nanti dampak akhirnya pada PDB [produk domestik bruto] itu sekitar di atas 1 tahun,” ujarnya dalam Taklimat Media: Kebijakan Makroprudensial Akomodatif untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan di Gedung Thamrin BI, Senin (26/5/2025).
Pada dasarnya, pelonggaran pendanaan melalui peningkatan RPLN dari maksimum 30% menjadi 35% dari modal bank membuat likuiditas bank dapat bernapas dan menambah dana untuk menyalurkan kredit lebih banyak.
Penguatan implementasi kebijakan RPLN ini ditujukan untuk meningkatkan sumber pendanaan bank dari luar negeri sesuai kebutuhan perekonomian dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, melalui penerapan parameter kontrasiklikal sebagai penambah RPLN sebesar 5%.
Baca Juga
Solikin tidak menampik bahwa efek kebijakan yang diharapkan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi ini memang baru akan terasa sekitar satu sampai dua tahun.
Transmisi yang memerlukan waktu cukup lama ini akibat kondisi keuangan, baik dari aliran modal, kondisi rupiah yang mendukung atau tidak, serta defisit transaksi berjalan.
Lebih Lanjut, Solikin menyampaikan bahwa apabila bank telah melihat adanya ruang pendanaan, pasti akan melakukan penarikan pinjaman luar negeri se-segera mungkin.
Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Juda Agung menyampaikan perluasan ini dilakukan akibat bank sentral melihat adanya penurunan pertumbuhan kredit dalam dua bulan terakhir dan lebih banyak dari sisi permintaan.
Di samping itu, Juda turut melihat memang ada keterbatasan dari sisi pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) atau dana murah sehingga sumber dana untuk menyalurkan kredit juga terbatas.
“Kami melihat ada bank-bank tertentu yang pendanaannya di dalam negeri sudah semakin berbatas itu sudah mulai mendapatkan atau mencari sumber pendanaan dari luar negeri,” ujarnya dalam konferensi pers pekan lalu.
Adapun hitungan BI ini nyatanya lebih lama dari ekonom yang memperkirakan transmisi pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial terhadap sektor riil akan menghadapi time lag sekitar 3—6 bulan untuk suku bunga kredit dan mungkin lebih lama untuk pertumbuhan kredit riil.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menyampaikan respons perbankan terhadap pelonggaran kebijakan juga tergantung pada kondisi likuiditas bank, persepsi risiko debitur, dan prospek makroekonomi.
“Maka, agar penurunan suku bunga benar-benar berdampak pada peningkatan kredit dan pertumbuhan ekonomi, perlu dukungan dari sisi permintaan melalui kebijakan fiskal ekspansif, insentif sektor riil, dan peningkatan kepercayaan konsumen,” ujarnya beberapa waktu lalu.