Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia menyentil perbankan yang menjalankan strategi menahan intermediasi yang terlihat dari lambatnya laju pertumbuhan kredit sepanjang tahun ini.
Langkah bank sentral menurunkan suku bunga acuan dari level 6,25% pada Agustus 2024 menjadi 5,25% pada pertemuan Juli 2025 kemarin tidak direspons antusias pasar.
Bank Indonesia mencatat meski bunga acuan BI Rate makin kuncup, nyatanya bank tak memilih ekspansi di tengah kebutuhan mengalirkan rupiah ke dalam nadi ekonomi. Per Juni 2025, kredit perbankan hanya tumbuh 7,77% year on year (YoY), lebih rendah dari capaian Mei 2025 yang kreditnya mencapai 8,43% YoY. Angka itu semakin rendah jika dibandingkan maupun akhir 2024 yang bahkan mampu tumbuh 10,39% YoY.
Saat bunga acuan dari Bank Indonesia sudah dipangkas 100 basis poin, bunga ditanggung pelaku usaha terlihat berbeda. Rata-rata suku bunga kredit perbankan (SBDK) masih tinggi, yaitu 9,16% pada Juni 2025, tidak jauh berbeda dari 9,18% pada Mei 2025 atau Desember 2024 yang sebesar 9,20%.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan kemasygulnya. Dia menyebut perbankan memilih menahan kredit. Saat yang sama, bank memilih memacu pendapatan dari belanja surat utang negara.
Perry mengamini bahwa permintaan kredit memang lebih rendah. Akan tapi, BI mencatat terdapat sejumlah sektor yang dapat dipacu seperti segmen ekspor, konstruksi, transportasi perdagangan, hingga jasa. “Jadi bukan masalah likuiditas,” kata Perry, Rabu (16/7/2025).
Baca Juga
Melalui kebijakan makroprudensial yang akomodatif dan koordinasi intensif dengan KSSK, BI pun masih optimistis kredit perbankan dapat tumbuh di kisaran 8%—11% tahun ini.
Sementara itu, berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, bank terus meningkatkan eksposurnya ke surat utang negara (SBN). Hingga akhir Juni 2025, pembelian SBN oleh bank telah bertambah Rp148,56 triliun. Dengan penambahan ini, total kepemilikan SBN oleh sektor perbankan pun melonjak menjadi Rp1.199,96 triliun atau setara 19,02% dari total outstanding SBN pemerintah. Angka ini naik signifikan dari 17,41% pada akhir tahun lalu.
Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk. Lani Darmawan mengatakan penurunan BI Rate merupakan sinyal positif. Namun, dampaknya terhadap cost of fund (CoF) atau biaya dana bank masih sangat bergantung pada dinamika likuiditas.
“Kami sambut baik penurunan BI Rate. Kita pantau saja apakah cost of fund bisa turun. Itu tergantung dari apakah likuiditas di market bisa lebih longgar,” ujar Lani kepada Bisnis..
Dia menekankan pelemahan kredit lebih karena ketidakpastian pasar. “Sehingga pelaku usaha masih memilih wait and see, sehingga bukan hanya karena bunga kredit,” jelasnya.
Hal senada disampaikan oleh Corporate Secretary PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. M. Ashidiq Iswara, Rabu (16/7). “Penyesuaian suku bunga kredit dan simpanan akan dilakukan secara terukur, dengan mempertimbangkan strategi bisnis, kondisi likuiditas internal, serta dinamika pasar,” ujarnya.
Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Agustya Hendy Bernadi menilai kebijakan BI ini menjadi sinyal positif yang sejalan dengan upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan.
“Bagi BRI, penurunan suku bunga acuan ini berpotensi membuka ruang lebih luas untuk ekspansi kredit, khususnya kepada sektor-sektor produktif seperti UMKM,” katanya.