Bisnis.com, JAKARTA - Pada 2023, perekonomian global dihantui resesi dan gejolak pasar keuangan seiring melonjaknya inflasi dan masih berlangsungnya perang Rusia vs Ukraina. Lantas, jenis investasi apa yang cocok dilakukan investor di tengah momok resesi 2023?
Perencana keuangan dari Financial Counsulting Eko Indarto memperkirakan menabung saham untuk investasi jangka panjang masih prospektif di tengah ancaman resesi 2023.
Namun untuk investasi jangka menengah, masyarakat bisa memilih bentuk investasi lain, seperti emas atau valas.
“[Valas] Khususnya untuk yang punya kepentingan di mata uang asing,” ujar Eko dikutip dari Tempo.co, Minggu (9/10/2022).
Di sisi lain, Eko menyarankan investor lebih dulu menghindari investasi di sektor properti, aset kripto, dan investasi spekulatif tinggi lainnya.
Menurutnya, bentuk-bentuk investasi tersebut memiliki risiko keuangan lebih tinggi. Dia meminta investor untuk berhati-hati dan menempatkan asetnya di jenis investasi yang lebih stabil atau aman.
Baca Juga
“Sementara waktu, saya menyarankan investor maksimalkan di emas, obligasi, dan reksa dana pendapatan tetap,” kata dia.
Kendati demikian, Eko mengatakan masyarakat tidak perlu takut berinvetasi. Investasi justru dianggap lebih baik daripada berutang.
“Tetap investasi berapa pun dana yang ada. Kurangi dan jauhi utang, atau coba untuk mendapatkan other income,” ujarnya.
Belum tuntasnya penanganan pandemi Covid-19, krisis energi, dan berbagai rentetan ketidakpastian diprediksi International Monetary Fund (IMF) akan merugikan ekonomi dunia hingga mencapai US$4 triliun pada tahun ini, angka terbesar sepanjang sejarah.
Lembaga itu mencatat, output ekonomi dunia akan kehilangan momentum pemulihan akibat tekanan yang tak kunjung mereda pada tahun ketiga hawar virus Corona.
Kepala International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva, mengatakan risiko itu belum termasuk dari beban fiskal yang ditanggung oleh banyak negara akibat dampak krisis energi dan pangan.
Kendala lain di antaranya lesatan inflasi yang dipicu oleh rembetan impak invasi Rusia ke Ukraina sejak Februari lalu, pengetatan kebijakan moneter yang agresif, dan lonjakan utang oleh mayoritas negara.