Bisnis.com, JAKARTA— Perusahaan pembiayaan PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk. (WOMF) atau WOM Finance mengungkap bahwa perusahaan bakal menerbitkan obligasi pada tahun depan untuk mendukung kebutuhan pendanaan.
Direktur Keuangan WOM Finance Cincin Lisa Hadi melihat bahwa prospek penerbitan obligasi industri multifinance pada 2025 cukup baik, seiring dengan cukup tingginya permintaan pasar akan obligasi serta tingkat suku bunga obligasi yang cukup kompetitif.
“Perusahaan berencana akan melalukan penerbitan obligasi pada 2025,” kata Cincin kepada Bisnis pada Kamis (19/12/2024).
Cincin mengatakan perusahaan menilai tingkat suku bunga obligasi saat ini masih cukup menarik, selain itu WOM Finance pun berupaya untuk memperoleh sumber pendanaan lain selain dari perbankan, di mana penerbitan obligasi menjadi salah satu opsi dalam sumber pendanaan perusahaan.
Di sisi lain, WOM Finance juga memproyeksikan kebutuhan pendanaan pada 2025 akan meningkat seiring dengan pertumbuhan bisnis Perusahaan.
“Selain itu, pada 2025 terdapat obligasi yang akan jatuh tempo dimana dana pelunasannya akan menggunakan kas internal Perusahaan,” katanya.
Baca Juga
Sebelumnya, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) melihat bahwa penerbitan obligasi perusahaan multifinanca pada tahun depan akan tetap tinggi di tengah ekspektasi pemangkasan suku bunga.
Ahmad Nasrudin, Fixed Income Analyst Pefindo mengatakan ekpektasi tersebut didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, pemangkasan suku bunga yang akan memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, di mana kondisi tersebut akan mendorong permintaan terhadap jasa pembiayaan.
“Perusahaan multifinance akan melihat prospek yang lebih baik terhadap pendapatan mereka,” kata Ahmad kepada Bisnis, pada Kamis (19/12/2024).
Ahmad menambahkan bahwa dengan suku bunga yang lebih rendah, biaya pendanaan perusahaan pembiayaan juga akan turun. Hal ini diperkirakan akan meringankan beban operasional mereka, sehingga prospek profitabilitas multifinance di tahun depan diharapkan menjadi lebih baik.
Kedua, lanjut Ahmad, permintaan jasa pembiayaan yang lebih tinggi akan mendukung peningkatan pendanaan untuk modal kerja dan investasi. Dengan demikian, pihaknya pun memproyeksikan akan lebih banyak perusahaan multifinance menerbitkan surat utang untuk meraih pendanaan, selain dari bank.
“Bagaimanapun, bagi beberapa perusahaan multifinance, terutama yang besar dan memiliki peringkat tinggi, surat utang memungkinkan mereka mengumpulkan dana dengan lebih murah daripada meminjam ke bank,” katanya.
Ketiga, perusahaan multifinance cenderung akan memanfaatkan suku bunga lebih rendah untuk membiayai surat utang yang jatuh tempo. Dengan demikain, Ahmad memihat bahwa penerbitan pada tahun depan tidak hanya untuk kebutuhan modal kerja dan investasi.
“Bagaimanapun, surat utang yang jatuh tempo di tahun depan cukup tinggi. Sehingga, beberapa dari surat utang tersebut akan dibiayai kembali,” katanya.
Ahmad mengatakan pada tahun depan, ada peluang yang lebih besar untuk mengganti surat utang mahal dengan surat utang berbiaya lebih rendah karena suku bunga diekspektasikan turun. Adapun pada 2025 terdapat Rp29,70 triliun surat utang akan jatuh tempo dari industri multifinance.
Namun demikian, Ahmad mengatakan ada beberapa faktor risiko perlu menjadi perhatian dan mungkin membuat ekspektasi peningkatan penerbitan pada tahun depan bisa saja tidak setinggi yang diharapkan.
Beberapa diantaranya yakni kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%, di mana menurut Ahmad pajak yang lebih tinggi akan mendorong naik harga barang-barang yang selama ini dibiayai melalui multifinance seperti mobil dan kendaraan bermotor lainnya. Dengan demikian, kenaikan tersebut berpotensi melemahkan permintaan terhadap produk tersebut, dan karena itu, terhadap jasa pembiayaan.
Kedua, Pemangkasan suku bunga yang lebih gradual. Menurut Ahmad, apabila suku bunga turun lebih lambat daripada yang diperkirakan, dampaknya terhadap akselerasi pertumbuhan ekonomi mungkin akan lebih kecil.
“Apalagi, faktor eksternal, terutama AS [Amerika Serikat], masih menjadi concern pasar. Baru-baru ini, ada concern bahwa suku bunga AS akan dipangkas lebih lambat daripada yang ekspektasikan, yang mana pada akhirnya mendorong fenomena “strong dollar”, yang memberikan tekanan terhadap rupiah dan membuat Bank Indonesia tidak akan memangkas secara agresif,” kata Ahmad.
Sejauh ini, Ahmad mengatakan suku bunga BI tidak berubah dari posisi awal tahun. Menurutnya pemangkasan 25 bps pada September 2024 sebenarnya hanya meng-offset kenaikan 25 bps pada April. “Jadi, suku bunga masih tinggi sebenarnya,” tambahnya.
Faktor lainnya nilai tukar, di mana ada ekspektasi nilai tukar akan tetap lemah karena dolar diasumsikan akan tetap kuat pada 2025.
“Kondisi ini juga akan mengekspos sektor-sektor yang sensitif terhadap nilai tukar, yang mana adalah ladang bagi pembiayaan multifinance,” tandas Ahmad.