Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pro Kontra Pinjaman Online Produktif Wajib Agunan, Antara Terlindungi dan Terbebani

Pinjaman produktif di atas Rp2 miliar melalui pinjol akan terkena kewajiban agunan. Rencana kebijakan itu menuai pro dan kontra.
Ilustrasi pinjaman online atau pinjol. / dok. Freepik
Ilustrasi pinjaman online atau pinjol. / dok. Freepik

Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana mengatur kewajiban agunan pada pinjaman online alias pinjol. Wajib agunan ini dikhususkan bagi pinjaman produktif dengan nominal lebih dari Rp2 miliar.

Ketentuan tersebut tertera dalam Rancangan Surat Edaran OJK tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknolog Informasi. Rancangan SEOJK saat ini sedang dalam tahap pembahasan. Ketentuan agunan akan mulai berlaku paling lambat satu tahun sejak rancangan SEOJK ini ditetapkan.

Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Lainnya OJK, Agusman menjelaskan rencana wajib agunan ini ditujukan untuk memperkuat mitigasi risiko kredit sebagai antisipasi potensi risiko default atau gagal bayar, terutama pembiayaan dengan nilai tinggi yang berdampak besar bagi perlindugan lender (pemberi dana) dan keberlanjutan usaha perusahaan penyelengara.

"Dengan adanya agunan ini tentu saja penyelenggara punya instrumen yang bisa digunakan untuk recovery jika terjadi wanprestasi dari penerima dana atau borrower, yang selama ini belum terjadi untuk recovery melalui mekanisme tersebut," kata Agusman.

Pinjaman sektor produktif sempat menjadi masalah utama industri P2P lending dalam menjaga kualitas kredit, di mana penyelenggara P2P lending dengan kredit bermasalah atau TWP90 di atas 5% didominasi oleh penyelenggara P2P lending yang fokus pada pendanaan produktif.

Berdasarkan catatan OJK, per November 2024 lalu terdapat 21 penyelenggara fintech P2P lending dengan TWP90 di atas 5%. Perusahaan dengan kredit macet tinggi ini didominasi oleh penyelenggara yang fokus pada segmen produktif.

Sementara itu, sampai dengan Desember 2024 outstanding pinjaman macet lebih dari 90 hari tercatat sebesar Rp505,53 miliar dikontribusikan oleh peminjam badan usaha. Angka itu tumbuh 14,6% (year on year/YoY) dan berkontribusi atas 25% dari total outstanding pinjaman macet.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memberikan banyak catatan atas wacana agunan pinjaman online. Menurutnya banyak faktor yang perlu diperjelas, termasuk bagaimana urgensi ketentuan wajib agunan ini.

"Yang jadi pertanyaan adalah, jika calon borrower mempunyai agunan hingga Rp2 miliar, apa yang menyebabkan calon borower tersebut meminjam pinjaman dari pindar dengan suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan perbankan? Apakah karena calon borrower tersebut tidak berkualitas? Ketika tidak berkualitas, apakah industri pindar menerima calon borrower tersebut?," kata Huda.

Huda menilai ketika diwajibkan agunan untuk pengajuan pinjaman sebesar lebih Rp2 miliar, dia merasa ketentuan itu akan menyurutkan minat untuk melakukan pinjaman di P2P lending

"Ya lebih rasional mereka pinjam di perbankan dengan bunga yang lebih rendah. Segmen produktif [pinjaman daring] jadi berkurang," ujarnya.

Meski begitu Huda memahami niat baik OJK mewajibkan agunan bagi pinjaman produktif di atas Rp2 miliar ini adalah sebagai upaya perlindungan lender atau pemberi dana P2P lending ketika terjadi gagal bayar. Hanya saja, yang menjadi catatannya adalah agunan pinjaman P2P lending ini perlu dibedakan menyesuaikan karakteristik di pinjaman online.

Sependapat dengan Huda, perusahaan penyelenggara fintech P2P lending PT Sahabat Mikro Fintek (Samir) menilai agunan pinjaman online perlu dibedakan dengan agunan pinjaman bank

CEO Samir, Yonathan Gautama, mengatakan implementasi agunan pada pinjaman online harus tetap memastikan kesesuaian karakteristik model bisnis P2P lending dan tidak menjadi hambatan bagi pertumbuhan produktif UMKM yang merupakan fokus utama pinjaman produktif.

"Tidak harus sepenuhnya menyerupai agunan di sektor perbankan, karena profil borrower dan model penyaluran pembiayaan di P2P umumnya berbeda. Beberapa alternatif seperti invoice, piutang usaha, atau persediaan barang dagangan bisa jadi pertimbangan selama ada mekanisme valuasi dan eksekusi yang memadai," ujar Yonathan.

Perusahaan P2P lending lainnya, Modalku Indonesia menilai ketentuan agunan bagi pinjaman online produktif dapat menjadi jaring pelindung bagi penyelenggara P2P lending ketika terjadi gagal bayar.

Hingga saat ini, Grup Modalku telah menyalurkan pendanaan lebih dari Rp70 triliun dengan 5,2 juta transaksi untuk UKM di Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Dari sisi kualitas kredit, Modalku berhasil menjaga TWP90 di kisaran 0,47% dan konsisten tetap di bawah 1% sepanjang tahun ini. Angka ini berada di bawah ketentuan 5% yang ditetapkan OJK.

"Dari perspektif perlindungan pemberi dana [lender], agunan berpotensi memberikan lapisan keamanan tambahan jika terjadi gagal bayar [default] oleh penerima dana [borrower]," kata Arthur Adisusanto, Country Head Modalku Indonesia.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik S.Djafar mengaku asosiasi belum berdiskusi lebih detail dengan OJK membahas wacana wajib agunan bagi pinjaman online tersebut.

"Meski begitu kami mendukung kebijakan OJK agar industri ini semakin sehat dan berkelanjutan," kata Entjik.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper