Bisnis.com, JAKARTA – Rasio manfaat pensiun tahunan terhadap gaji terakhir atau replacement ratio peserta program Jaminan Pensiun (JP) di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan masih berada dalam kisaran 15%–20%. Angka ini jauh di bawah rekomendasi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) sebesar 40% sebagai standar kehidupan layak bagi pensiunan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai kondisi tersebut harus segera dibenahi. Dia menyarankan pemerintah melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun yang menetapkan koefisien perhitungan manfaat pensiun sebesar 1%.
"Untuk mencapai 40% minimal manfaatnya, dengan masa iur [bekerja dan menjadi peserta JP] 30 tahun maka koefisiennya [seharusnya] 1,33%. Kalau kita masih 1%. Nah itu yang direvisi di PP 45. Itu yang kita dorong," kata Timboel kepada Bisnis, Kamis (24/7/2025).
Dalam beleid tersebut dijelaskan bahwa manfaat pensiun untuk tahun pertama dihitung berdasarkan formula manfaat pensiun, yakni 1% dikalikan masa iur dibagi 12, kemudian dikalikan rata-rata upah tahunan tertimbang selama masa iur 12 bulan.
Untuk tahun-tahun berikutnya, manfaat pensiun dihitung dari nilai manfaat tahun sebelumnya dikalikan faktor indeksasi, yaitu 1 ditambah tingkat inflasi umum tahun sebelumnya.
Meski skema indeksasi sudah mempertimbangkan inflasi, Timboel menilai manfaat awal pensiun masih terlalu rendah. Dia juga menyoroti belum adanya respons dari pemerintah atas usulan revisi tersebut.
Baca Juga
"Sampai sekarang belum ada political will dari pemerintah. [Usulan BPJS Watch] belum ditanggapi. Ini harus buat skenario regulasi, itu direvisi PP 45," tegasnya.
Tak hanya soal koefisien, BPJS Watch juga menyarankan agar iuran program JP yang saat ini sebesar 3% dapat direvisi secara bertahap. Berdasarkan proyeksi pemerintah, dengan iuran saat ini, aset JP masih cukup membiayai manfaat hingga 2074. Hingga 30 Juni 2025, dana kelolaan program JP tercatat sebesar Rp207,09 triliun.
Namun, menurut Timboel, keberlanjutan tersebut menyimpan risiko fiskal bagi pemerintahan mendatang.
"Iya [memang masih aman], tapi itu artinya pemerintah sekarang memberikan bom waktu kepada pemerintah tahun 2070," ujarnya.
Ia menyarankan revisi PP 45/2015 dapat disertai skema kenaikan bertahap, misalnya iuran naik 0,5% setiap tahun.
"Begini tidak masalah. Tapi kalau tidak ada, tapi kalau tidak pernah dinaikkan, jadi masalah. Ini dari sejak awal 2015 belum pernah [ada penyesuaian]," sambungnya.
Timboel juga membandingkan skema perlindungan hari tua di Indonesia dengan negara ASEAN lainnya. Jika di Indonesia terdapat program Jaminan Hari Tua (JHT), JP, dan pesangon secara terpisah, maka di Malaysia dan Singapura skemanya terintegrasi dengan iuran yang lebih besar.
"Sehingga iurannya 23%. Nah, sekarang mau tidak pemerintah begitu? Itu salah satu yang kita dorong, bahwa JHT JP dengan pesangon digabung saja. Dengan kewajiban perusahaan sekian persen pkerja sekian persen. Tapi pengusaha pasti akan menolak, karena iuran pasti meningkat," pungkasnya.