Bisnis.com, JAKARTA - Kemerdekaan tidak hanya berarti bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas untuk mendapatkan kesempatan yang setara dalam mencapai impian. Masyarakat yang benar-benar merdeka adalah masyarakat dimana setiap individu memiliki peluang yang sama untuk berkembang berdasarkan kemampuan dan usaha mereka, bukan berdasarkan latar belakang, bias, atau gender.
Berdasarkan Gender Social Norms Index 2023, Indonesia menempati urutan bias gender tertinggi di Asia Tenggara dengan 99,7% populasi yang masih memiliki setidaknya satu bias gender. Apabila dibandingkan dengan negara lain, Indonesia hanya lebih baik dibandingkan dengan Tajikistan (99,9%) dan Pakistan (99,9%).
Bias ini tercermin dalam berbagai dimensi kehidupan, mulai dari keyakinan bahwa laki-laki adalah pemimpin politik yang lebih baik, hingga anggapan bahwa laki-laki memiliki hak lebih untuk mendapatkan pekerjaan ketika lapangan kerja terbatas.
Sementara itu, data dari BPS pada 2023 menyebutkan angka partisipasi perempuan dalam angkatan kerja di Indonesia hanya berjumlah 53%, dibandingkan laki-laki yang berjumlah 82%. Data juga menunjukkan bahwa 59% perempuan berada dalam sektor pekerjaan yang rentan (vulnerable employment) pada 2022. Sementara dalam indeks kesetaraan gender hanya mencapai 69% yang menempatkan Indonesia di urutan 100 dari 146 negara.
Head of Programmes UN Women Indonesia Dwi Yuliawati menjelaskan bahwa 99,7 persen populasi Indonesia masih punya setidaknya satu bias gender. “Dan yang paling utama di Indonesia adalah bias politik dan ekonomi,” katanya.
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2022 menunjukkan bahwa pria di daerah perkotaan (urban) memiliki kecenderungan 2,3 kali lebih besar untuk mendukung partisipasi politik perempuan dibandingkan dengan pria di daerah perdesaan (rural). Ini berarti bahwa dukungan terhadap keterlibatan perempuan dalam dunia politik lebih tinggi di kalangan pria perkotaan dibandingkan dengan pria pedesaan. Selain itu, data Asean Gender Outlook 2024 menyebutkan perempuan menghabiskan waktu dua kali lebih banyak dibandingkan laki-laki untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan perawatan tanpa upah.
Menurut Dwi, perlu ada gerakan transformatif di lingkungan kerja untuk menciptakan ekosistem kerja yang tidak bias gender. Dwi mencontohkan bahwa perusahaan di badan usaha milik negara (BUMN) sudah mulai menerapkan persentase perempuan yang duduk di posisi direksi BUMN sebesar 30 persen. Sementara, representasi perempuan di perusahaan swasta masih sangat tergantung komitmen setiap perusahaan.
Ketua Dewan Eksekutif Institut KAPAL Perempuan, Misiyah, mengatakan konsep gender yang menjadi problem mendasar yang membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dibedakan sifatnya, perannya, tanggung jawabnya. "Konstruksi yang dibedakan jenis kelamin biologisnya yang mengakibatkan relasi kuasa yang timpang, ini yang menyebabkan adanya kekerasan berbasis gender," jelas Misiyah.
Menurut Misiyah, keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan, laki-laki dan identitas gender lainnya. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Sedangkan kekerasan berbasis gender merupakan segala tindakan atau perilaku yang mengancam dan membahayakan yang ditujukan pada individu atau kelompok berdasarkan jenis kelamin atau identitas gender yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi, yang berakibat pada kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, atau mental.
Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru Wawan Suwandi menekankan bahwa perubahan tidak bisa dicapai hanya oleh perempuan. "Ini bukan hanya upaya membangun kesetaraan, tapi juga membangun kualitas laki-laki itu sendiri," tuturnya.
Tantangan terbesar yang dihadapi dalam mengubah paradigma laki-laki adalah stigma. "Ketika ada laki-laki yang berbicara tentang keadilan dan kesetaraan gender, stigma yang muncul adalah dianggap sebagai bukan laki-laki," ungkap Wawan.
PRINSIP KESETARAAN
Prinsip kesetaraan ini sejalan dengan semangat kemerdekaan yang sesungguhnya, yakni kebebasan untuk berkembang tanpa batasan-batasan yang tidak relevan. Karena itu, perlu prinsip meritokrasi dalam rangka menghadirkan kesetaraan dalam mengisi kemerdekaan.
“Kita semua memang berbeda dalam hal keahlian kita, tetapi semuanya itu adalah sesuatu perbedaan yang akan memberikan kekuatan bagi kita untuk saling mendukung, saling melengkapi sehingga kita bisa menjadikan satu kehidupan yang lebih baik. Baik untuk diri kita, baik untuk lingkungan kita, baik untuk masyarakat kita,” ungkap Brand and Communication Division Head OCBC Aleta Hanafi.
Meritokrasi memiliki dampak signifikan pada pembangunan nasional. Ketika peluang dibuka secara merata untuk semua, maka pemanfaatan sumber daya manusia menjadi optimal tanpa ada talenta yang terbuang karena hambatan struktural atau prasangka. Inovasi juga menjadi lebih cepat karena beragam perspektif dan ide dapat muncul ketika semua orang mendapat kesempatan untuk berkontribusi.
Selain itu, motivasi dan produktivitas akan meningkat karena orang akan lebih termotivasi untuk bekerja keras jika mereka percaya bahwa usaha mereka akan dihargai secara adil. Dan tak kalah pentingnya, legitimasi sosial akan menguat karena masyarakat akan lebih percaya pada institusi dan sistem yang memberikan kesempatan setara kepada semua.
Komisaris Independen OCBC Betti Alisjahbana mengatakan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan prinsip tersebut terwujud. “Di OCBC, kami percaya bahwa ruang kerja yang adil gender akan membuka peluang yang sama untuk semua. Hal ini didukung dengan adanya kebijakan, program pengembangan untuk semua level serta fasilitas penunjang yang ramah bagi semua karyawan,” tuturnya.
OCBC menyadari bahwa menciptakan lingkungan yang benar-benar inklusif membutuhkan upaya kolektif. Melalui kampanye #BaiknyaBarengBareng, OCBC mengajak semua pihak untuk berpartisipasi dalam perjalanan menuju Indonesia yang lebih inklusif dan meritokratis.
Partisipasi dalam gerakan ini dapat dimulai dari hal-hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari mendukung kesetaraan peluang di tempat kerja, menantang stereotip gender dalam percakapan, hingga mendukung kebijakan yang mempromosikan kesetaraan.