Bisnis.com, JAKARTA - Imbal hasil investasi yang didapatkan rutin secara bulanan dengan menjadi pendana (lender) di platform teknologi finansial peer-to-peer lending (fintech P2P lending) bisa menjadi passive income.
Namun, faktor apa yang perlu diperhatikan sebelum menentukan berapa besaran dana, bagaimana memilih platform yang tepat, dan cara memutuskan peminjam dana (borrower) mana yang potensial?
Founder dan CEO Finansialku.com Melvin Mumpuni menjelaskan kepada Bisnis bahwa setidaknya ada lima poin penting sebagai awalan. "Yang paling penting pertama, pilih perusahaan P2P lending yang sudah berinzin atau terdaftar di OJK. Kedua, sesuaikan dengan tujuan keuangan," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (21/10/2020).
Melvin menjelaskan bahwa dengan imbal hasil yang diterima per bulan, tentunya fintech lending potensial dan sangat mungkin mengakomodasi investor untuk mendapatkan passive income atau pendapatan pasif.
Maka, kuncinya ada di pemilihan platform. Melvin sendiri mengungkapkan platform yang bisa mengelola risiko lender dengan lebih aman akan lebih menarik, misalnya yang memiliki underlying emas atau memiliki asuransi kredit. Sehingga, seandainya terjadi gagal bayar dari peminjam dana (borrower), modal lender tidak 100% hilang.
"Jangan lupa cari yang TKB90 [tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman 90 hari] di atas 90 persen. Lebih baik lagi jika bisa mendekati 100 persen meskipun jarang," tambahnya.
Baca Juga
Setelah memilih platform, sesuaikan pilihan periode investasi dengan tujuan keuangan lewat dengan tepat memilih borrower potensial.
"Saya pribadi lebih suka P2P lending dengan periode investasi pendek, misal kurang dari 1 tahun. Saya juga tidak mengincar yang bunga tinggi tapi risikonya kalau gagal menjadi sangat dalam sekali. Lebih baik yang bunganya tidak terlalu tinggi, tapi punya bantalan," ungkap Melvin.
Hal ini patut dipahami karena pengelolaan risiko merupakan hal yang penting dalam berinvestasi di P2P lending. Lebih lanjut, dia bilang jika sudah menemukan platform yang tepat dan segmen borrower yang cocok, maka investor bisa terus top up secara konsisten dari bujet investasi bulanan pendapatan, seperti halnya menabung atau investasi dalam instrumen lain.
"P2P lending itu enaknya, kita tidak perlu pantengin terus demi mencari peluang seperti saham atau reksa dana. Ada fitur Robo atau investasi otomatis di sana yang bisa kita atur sendiri. Saya nyalakan itu, kemudian kita top up seperti menabung saja," ungkapnya.
Namun, Melvin mengingatkan agar calon investor harus bersabar menunggu hasilnya berputar satu, dua, hingga tiga kali siklus perputaran. Artinya, imbal hasil dari investasi jangan langsung dianggap sebagai passive income tetapi bisa dimasukkan lagi menjadi modal sehingga terus berputar.
"Contoh, dari tabungan saya di salah satu platform yang sudah mencapai lebih dari Rp200 juta, walaupun sudah sampai tujuan passive income bulanan sekitar Rp2 juta, saya pun masih top up terus atau menggunakan imbal hasil itu untuk diputar lagi secara otomatis," ungkap Melvin.
Alasannya, karena jangan sampai lupa salah satu poin di atas: tujuan keuangannya harus jelas. Misalnya, menargetkan passive income ini untuk membayar kredit kepemilikan rumah (KPR), atau digunakan nanti sebagai pendapatan bulanan ketika pensiun. "Apabila itu belum cukup dan kita sendiri belum terlalu membutuhkan passive income tersebut, sabar saja dan putar terus demi tercapainya tujuan keuangan kita lewat platform fintech P2P lending."